BEBERAPA waktu yang lalu, Wakil
Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali menyebut koalisi perubahan akan bubar jika
ada yang memaksakan diri menjadi Cawapres Anies Rasyid Baswedan ( ARB ). Pernyataan
tersebut kemudian direspon oleh Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ) dengan
memastikan dirinya tidak mau memaksa dan dipaksa untuk menjadi Cawapres ARB.
Rencana koalisi tiga partai ini
semakin tak tentu arah, karena sejak awal motivasinya hanya untuk berbeda
dengan koalisi partai yang ada di pemerintahan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ).
Semula ketiga partai ini hendak memanfaatkan momentum hari Pahlawan, 10
November 2022 untuk mengadakan deklarasi. Kemudian berubah menjadi awal tahun
2023, namun hingga saat ini api perubahan yang digelorakan justru terancam
padam.
Senada dengan Partai Demokrat (
PD ), Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) juga menyodorkan nama untuk menjadi
Cawapres, yakni Ahmad Heriawan ( Aher ). Gubernur Jawa Barat (2008- 2018 ) ini
diyakini tepat mendampingi ARB karena cukup dikenal dan diyakini mampu meraup suara di Jawa
Barat. Pengalaman Aher sebagai gubernur Jawa Barat dua periode dianggap
merupakan nilai lebih dibandingkan AHY.
Dinamika tersebut dipastikan akan
makin alot karena PD dan PKS
mengharapkan efek elektoral dari kadernya yang menjadi Cawapres ARB. PD
berharap kebangkitan bagi partainya setelah tidak masuk pemerintahan selama
sepuluh tahun. Sementara PKS sedang menghadapi pertarungan hidup dan mati di
basis yang sama dengan Partai Gelora. Maka PKS sangat menginginkan kadernya
menjadi Cawapres bagi ARB, demi menambah semangat menghadapi Pemilu 2024.
Sementara itu, Partai Nasdem
mengharapkan PD dan PKS legowo, dan menyerahkan mandat penuh kepada Capres ARB
untuk menentukan Cawapres. Partai Nasdem beralasan bahwa ARB bukan kadernya,
sehingga PKS dan PD pun tidak harus memaksakan kadernya untuk mendampingi
Capres ARB. Partai Nasdem bermanuver dengan memunculkan sejumlah nama, yakni
Andika Perkasa (Mantan Panglima TNI), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa
Timur), Yenny Wahid, (Tokoh Perempuan NU), Taj Yasin Maimoen (Wakil Gubernur
Jawa Tengah).
Manuver Partai Nasdem tersebut
sebagai strategi agar Partai Nasdem yang mendapat efek electoral dari pasangan
Capres ARB. Kemudian Partai Nasdem juga ingin menjadi leader koalisi perubahan
untuk menghadapi Partai Demkorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dianggap
menjadi leader koalisi lawannya. Partai Nasdem sedang memainkan akrobat
politik, deklarasi Capres antitesa Jokowi, tetapi tidak ingin kehilangan kursi
di kabinet Indonesia Maju.
PD Retreat di Pacitan
Di tengah peliknya dinamika
koalisi perubahan, PD menggelar retreat di Pacitan, tempat kelahiran Presiden
ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). PD yang kini dipimpin ayah dan anak, SBY
dan AHY sedang ingin melakukan penyegaran dan penegasan kembali bagi segenap
kader utama PD terhadap peta jalan menuju sukses Pemilu 2024. PD meyakini bahwa
koalisi perubahan pada saatnya akan menjadi “game changer” . Karena figur Cawapres
pendamping ARB memiliki modal
elektabilitas yang memadai dan menjadi representasi aspirasi perubahan.
Sebelum menggelar pertemuan
tertutup, AHY terlebih dahulu meresmikan kantor DPC PD Pacitan. Pada kesempatan
tersebut, AHY diteriaki presiden oleh emak- emak. Teriakan itu tentu berbeda
dengan komunikasi politik yang dibangun elit PD bersama koalisi perubahan.
Kader emak- emak mengharapkan AHY jadi presiden, sementara elit PD hanya
berjuang agar AHY menjadi Cawapres dari ARB.
Selain berbicara terkait Pileg
dan Pilpres, retreat PD di Pacitan dimanfaatkan oleh ketua majelis tinggi PD,
SBY untuk menjelaskan tentang museum SBY*ANI. Museum yang berisi catatan
kepemimpinan SBY selama dua periode ( 2004- 2014 ). Pelunasan hutang negara
kepada IMF, penanggulangan bencana tsunami Aceh menjadi bagian yang dijelaskan
SBY kepada peserta retreat PD.
Kornas: “Lebih Baik AHY Maju
di Pilkada Jawa Timur”
Ketidakjelasan arah dari koalisi
perubahan, Kornas memberi saran dan masukan kepada Ketum PD, AHY agar mempersiapkan
diri maju di Pilgub Jawa Timur 2024. Gagasan ini mengacu kepada role model
kepemimpinan nasional yang dirintis Presiden Jokowi. Sejak Jokowi ( Gubernur
DKI Jakarta saat itu ) bertarung menghadapi Prabowo Subianto ( PS: Ketum Partai
Gerindra ), maka jalan paling mudah menjadi Capres dan Cawapres adalah Gubernur
atau Wakil Gubernur.
Sejumlah nama yang potensial maju
di Pilpres 2024 adalah Ganjar Pranowo (GP), ARB, Ridwan Kamil (RK), Sandiaga
Salahudin Uno (SSO), Aher, Khofifah Indar Parawansa (KIP). Semuanya adalah
Gubernur dan Wakil Gubernur yang diyakini memiliki basis konstituen. Sementara
itu, AHY hanya memiliki pengalaman kalah bertarung di Pilgub DKI Jakarta 2017.
Maka AHY lebih tepat untuk tidak memaksakan diri untuk menjadi Cawapres 2024.
Jika mengacu pada proses mengikuti Pemilu, justru Edhie Baskoro Yudhoyono (
Ibas ) lebih berpengalaman dan memiliki basis konstituen yang jelas.
Sebagai organisasi rakyat ( OR )
pendukung Ganjar Pranowo, Kornas menyampaikan ide tersebut kepada AHY sebagai
figur pemimpin muda yang masih memiliki banyak waktu untuk belajar memimpin. “
Tidak ada presiden dan wakil presiden di Indonesia yang lahir dari proses
kepemimpinan yang instan”. Maka sangat tidak mungkin bagi AHY untuk menjadi
Cawapres 2024. Atau meskipun tetap memaksakan diri maju sebagai Cawapres
mendampingi ARB, pasangan ini dipastikan akan kalah. **
Penulis :
Sutrisno Pangaribuan
Presidium Kongres Rakyat Nasional ( Kornas )