Perjuangan Kolom Kosong, Luruskan Demokrasi

Oleh : Adol Frian Rumaijuk STP MMA
Administrator Administrator
Perjuangan Kolom Kosong, Luruskan Demokrasi
Ist| pelita Batak
Adol Frian Rumaijuk STP MMA

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 yang diikuti 270 daerah dan 25 diantaranya hanya diikuti oleh pasangan tunggal atau melawan kolom kosong. Tidak dipungkiri pertarungan melawan kotak kosong bukan perkara mudah. Untuk pertama kalinya terjadi di Kota Makassar pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Walikota tahun 2018. Pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) kalah perolehan suara dari kolom kosong antara 264.071 dan 300.969. Peristiwa tersebut tentu membuat suasana politik Nusantara riuh kala itu.

Nah, untuk pilkada serentak tahun 2020, sebanyak 25 daerah mengikuti pesta demokrasi yang semakin tergerus nila itu diikuti satu calon saja. Dengan kata lain, melawan kolom kosong.

Di sebagian daerah, munculnya calon tunggal dikarenakan adanya dugaan aksi 'borong partai' dengan memanfaatkan kepongahan para elit politik yang masih memandang pesta demokrasi hanya sebagai ajang kepentingan kelompoknya saja. Bisa kita sebut, dengan memborong habis parpol, maka tidak ada lawan di Pilkada dan calon tunggal akan menang.

Di balik peristiwa aksi heroik para elit parpol ini tentu wajar di tengah masyarakat terjadi pro dan kontra. Seperti berbagai daerah, muncul reaksi dari tengah masyarakat untuk mengkampanyekan kolom kosong. Bahkan, tim yang sepertinya solid bak tim sukses pasangan calon yang sudah mapan dengan persiapan maju di Pilkada, relawan bergerak mengkampanyekan kolom kosong. Ada baiknya, dengan harapan ke depan elit politik tidak hanya memandang mahar yang disiapkan si calon tunggal untuk meloloskan akan bulusnya, menang tanpa ada lawan di Pilkada.

Jikalau benar, aksi borong parpol adalah kenyataan, betapa rakusnya manusianya itu. Ditengah ketidakmampuannya memberikan dampak di tengah masyarakat, justru mengambil cara itu untuk menempati posisi kepala daerah.

Sebelumnya, misalnya di Sumatera Utara, mantan Gubernur Sumatera Utara H Tengku Erry sebagai petahana tidak memiliki perahu untuk maju kemudian pada periode kedua kepemimpinan nya. Tentu para elit partai ada alasan untuk tidak mengusung petahana kala itu dan pilkada pun diikuti dua paslon.

Kembali ke calon tunggal, di Sumut terdapat tiga daerah penyumbang pilkada melawan kolom kosong. Yaitu Kota Gunungsitoli (Lakhomizaro Zebua-Sowa'a Laoli), Kota Pematangsiantar (Asner Silalahi-Susanti Dewayani), Kabupaten Humbang Hasundutan (Dosmar Banjarmahor-Oloan P Nababan). Tiga daerah ini kini menjadi perhatian, ketika koalisi parpol sepakat untuk satu calon saja.

Calon tunggal untuk calon petahana tentu patut ada pertimbangan khusus bagi pemilih. Perlu dicatat, pemilih adalah rakyat bukan Parpol. Menilik pengalaman, kita boleh sepakat bahwa mesin parpol masih belum maksimal menggerakkan partisipasi pemilih di setiap pemilihan umum di negeri ini. Misalnya di Humbang Hasundutan, kini calon bupati yang muncul adalah petahana, meski sebelumnya ada beberapa bakal calon yang sudah muncul sebelum pendaftaran dan penetapan calon di KPU.

Rekomendasi parpol yang sempat dikantongi oleh bakal calon, justru gugur dan beralih menjelang hari-hari terakhir pendaftaran ke KPU. Bahkan, parpol besar yang memiliki kader potensial justru mengalihkan dukungan ke calon lain. Miris.

Tidak salah mungkin kita menduga, peran besar elit politik di tingkat DPP yang sudah dirasuki oleh kerakusan para bakal calon kala itu. Memaksakan keinginan agar tujuan tercapai sementara rakyat hanya menjadi peran tambahan.

Anarkisme elit politik juga terjadi di beberapa daerah, yang mestinya menjadi bagian pertimbangan bagi rakyat saat menentukan pilihan nantinya di bilik suara. Money politik, sangat familiar dengan kondisi ini.

Sudahlah sepantasnya, rakyat pemilik penuh akan penentuan suara, menentukan pilihannya. Tidak lagi berdiam, dan hanya mengikuti kemauan elit parpol yang sesungguhnya tidak peduli nasib rakyat di akar rumput. Rakyat harus menangkan pesta demokrasi ini, agar pesta demokrasi bisa berjalan patut dan sewajarnya.

Mengalahkan ego para elit parpol ini, tentunya tidak mudah jika rakyat berjuang sendiri-sendiri. Namun dengan gerakan bersama, maka kehadiran partai politik rasa orde baru itu bisa dipatahkan. Semoga

Komentar
Berita Terkini