Kemerdekaan Yang Memerdekakan

Oleh Weinata Sairin
Administrator Administrator
Kemerdekaan Yang Memerdekakan
IST|Pelita Batak
Weinata Sairin

Ya Allah, ya Tuhan kami

Di hari kemerdekaan negeri kami

Kami memohon kepada-MU ya Allah

Ilhamilah kami untuk menyadari dan mensyukuri

Dengan benar rahmat agung anugerah-Mu

Nikmat kemerdekaan kami.


Berilah kepada kami dan pemimpin-pemimpin kami

Kecerdasan memahami arti kemerdekaan yang benar

Berpuluh tahun kami dijajah oleh kebodohan kami

Berpuluh tahun kami dijajah oleh bangsa asing

dan bangsa sendiri


Dan kini setelah merasa merdeka kami mulai dijajah

Oleh nafsu dan kedengkian kami sendiri

Ya Allah, ya Tuhan kami

Jajahlah kami, jajahlah kami oleh-Mu sendiri

Merdekakanlah kami

Jangan biarkan selain-MU, termasuk diri-diri kami

Ikut menjajah kami....(Petikan dari “Doa Kemerdekaan”, A.Mustofa Bisri)


Kemerdekaan, kebebasan, kondisi tidak terbelenggu dan tidak terpenjara, siapa yang tidak merindukannya?  Semua orang, siapapun dia, begitu menginginkannya. Oleh sebab itu, kemerdekaan diperjuangkan, bahkan hingga titik darah penghabisan. Peringatan hari kemerdekaan selalu disambut dengan sukacita. Di era non Corona, hut Proklamasi diramaikan. dengan pembacaan puisi, lomba panjat pinang, ada upacara, ada remisi,  ada layar tancap di kampung-kampung,  ada merah-putih tertancap di depan rumah; ya, ada seberkas sukacita yang diekspresikan oleh setiap warga bangsa. 


Namun, setiap kali kemerdekaan ini datang menjamah sejarah, seberkas tanya selalu mengemuka: Apakah kita sebagai bangsa sudah benar-benar merdeka? Apakah tiap-tiap warga negara sudah mengenyam makna kemerdekaan?

Mustofa Bisri dalam puisinya “Doa Kemerdekaan”  yang sebagian dikutip di atas  menyatakan kemerdekaan belum sepenuhnya dinikmati oleh warga bangsa; kemerdekaan belum seutuhnya memerdekakan. “Kami mulai dijajah oleh nafsu dan kedengkian kami sendiri,” kata Bisri. Sebab itu, dalam puisinya itu ia memohon kepada Tuhan agar manusia tidak dijajah dan diperbudak oleh diri sendiri,  oleh dengki dan nafsu yang muncul dari diri sendiri, tetapi biarlah dijajah oleh Tuhan,  dikuasai dan dikendalikan oleh Tuhan. Kemerdekaan, oleh sebab itu, amat menghargai kebersamaan, kebersatuan,  kemerataan, solidaritas, dan hidup senasib sepenanggungan.  Suatu kehidupan yang diskriminatif, sentralistik, primordial, otoriter, yang mengakomodasi serta memberi ruang  hanya satu golongan dalam masyarakat, bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai dasar dan kemerdekaan itu sendiri. Para pendiri negara kita sejak awal dengan sangat tajam mencermati adanya bahaya yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, apabila hal-hal yang diskriminatif  mendapat tempat dalam kehidupan bangsa kita yang amat majemuk. 


Tindakan para pendiri negara kita  tanggal 18 Agustus 1945 yang berani meniadakan hal-hal yang diskriminatif dalam suatu sistem perundang-undangan yang mengatur kehidupan secara  nasional,  merupakan aktualisasi  sikap kenegarawanan yang arif dan antisipatif. Sikap kenegarawanan seperti itu perlu diteruskan dalam kurun waktu mendatang, ketika bangsa kita menghidupi kemerdekaan pada era yang baru. 


Kemerdekaan benar-benar kemerdekaan jika ia memberi tempat yang layak bagi rakyat,  yaitu ketika kemerdekaan itu adalah sebuah ruang yang di dalamnya  diwujudkan secara konsisten pembangunan yang berorientasi  pada kepentingan rakyat banyak. Ketika rakyat hanya menjadi tumbal,  ketika rakyat tak lebih dari sekadar ornamen yang selalu dijadikan 'atas nama', ketika rakyat makin tersuruk dan terpuruk,  ketika rakyat selalu tersingkir dan tersungkur, ketika rakyat makin terempas dan terkandas,  ketika rakyat tidak lagi memiliki haknya yang sejati, maka sesungguhnya kita belum benar-benar merdeka, tetapi baru seolah-olah merdeka. Kemerdekaan belum sepenuhnya memerdekakan. 


Kemerdekaan adalah anugerah Allah, tidak jatuh dari langit,  dan telah banyak menelan korban. Sebab itu, ia harus dihidupi dengan penuh tanggung jawab. Agama-agama harus diingatkn terus agar memotivasi warga bangsa agar mereka memberi kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara. Para tokoh agama harus berani menjadi pionir dan teladan dalam menghidupi kemerdekaan secara benar.  Sebagai bagian padu dari bangsa, umat beragama harus berani terus-menerus menjalankan perannya secara positif, kreatif, kritis,realistis dan transformatif dalam kehidupan bangsa sebagaimana telah dilakukannya pada masa-masa lampau. Agama-agama  harus menjadi nabi bagi zamannya,  tidak apatis, bisu, dan membutakan diri terhadap realitas  sejarah. 


Oleh karena itu, agama-agama tidak boleh teralienasi dari kekinian dunia. Ia harus menjadi garam, terang,  bagi komunitas di sekitar dirinya. 

NKRI yang majemuk yang memberi ruang bagi agama-agama tidak boleh mengerdilkan diri mengarah ke negara agama, negara yang dibangun berdasarkan ajaran satu agama. NKRI harus benar-benar menjadi negara Pancasila yang real, konkret dan seutuhnya,sebagaimana yang sudah di tetapkan the founding fathers dimasa lalu.


Seiring dengan itu, agama-agama harus bergandeng tangan menerjemahkan Pancasila dalam kehidupan konkret. Pancasila harus menjadi nafas dan roh dalam kedirian manusia Indonesia. Cerdas sekali ungkapan  Bisri : kita baru merdeka seutuhnya,  jika Tuhan menjajah kita. Jika kuasa Tuhan memasuki kehidupan kita, kita akan merdeka! Merdeka! 

Selamat Berjuang. God Bless!

Komentar
Berita Terkini