Publik Harus Cermat Tentukan Pilihan di Pilkada, Dinasti Politik Berpotensi Koruptif

Administrator Administrator
Publik Harus Cermat Tentukan Pilihan di Pilkada, Dinasti Politik Berpotensi Koruptif
fajar.co.id
Ilustrasi
Jakarta(Pelita Batak): Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mewanti-wanti publik agar benar-benar cermat dalam memilih pemimpin daerah dalam kontestasi Pilkada, yang berkaitan dengan dinasti politik, terutama di Banten. Pasalnya, sudah banyak bukti dan fakta, kepala daerah yang berasal dari dinasti politik selain koruptif, hanya melanggengkan kekuasaan.

 

"Saya pikir politik dinasti itu merugikan dalam konteks apa yang mereka lakukan dalam pemerintahan demi kepentingan keluarga mereka. Bagaimana pun caranya keluarga-keluarga ini akan mencari celah untuk mempertahankan eksistensi diri di politik praktis," tegas Aditya, kepada media, Selasa 7 Februari 2017.

 

Kata dia, saat ini, politik dinasti dalam Pilkada juga sedang terjadi di beberapa daerah. Masalahnya, publik sering lupa bahwa politik dinasti ini justru merugikan lantaran menggerogoti anggaran, menyelewengkan kekuasaan, hingga ujungnya ditangkap KPK. 

 

Misal, seperti di Banten ada Andhika Hazrumy, yang tak lain anak Ratu Atut, dimana banyak disebut-sebut disangkutpautkan dengan kasus pamannya, yaitu Tubagus Chaeri Whardana alias wawan dalam kasus pencucian uang.  

 

"Pertanyaan mendasarnya apakah publik tahu siapa saja yang dimaksud oleh dinasti dalam pilkada. Lalu apa track record dari keluarganya. Dalam kasus Banten memang jelas ada Andhika, anak Atut dan berkali-kali disangkutpautkan dengan kasus yang menjerat pamannya Wawan. Nah apakah indikasi terlibat saya ga bisa menjawab karena itu ranahnya KPK. Tapi publik seharusnya diinformasikan bagaimana track record masing-masing kandidat dalam urusan keluarganya yg berpolitik," tegas Aditya. 

 

Aditya menilai, sikap ICW yang terus mengawasi korupsi dinasti politik di Banten sudah tepat. Artinya, kata dia, kelompok masyarakat sipil yang tahu banyak tentang politik lokal dan korupsi, memang harus sering menyampaikan temuan ke publik.  "Ini bagian dari penyadaran publik kalau  memilih jangan sembarangan," tegasnya.  

 

Koordinator Indonesia Corruption Wacth (ICW) Ade Irawan menambahkan, korupsi dinasti politik di Banten merugikan warga Banten.  ICW menilai, KPK sudah sepantasnya mengembangkan kasus korupsi berkaitan dinasti politik, termasuk juga di kasus TPPU Wawan, karena sudah terlihat siapa saja yang dijadikan perantara aliran uang. Kemudian aliran uang dalam bentuk apa saja, tinggal bagaimana KPK dengan sigap mengembangkan kasusnya.

 

Ade menambahkan, jika bicara korupsi, apalagi dilakukan oleh pejabat publik yang memiliki kekuasaan politik dinasti, bukan cuma bicara soal kerugian negara. Namun, lebih parah lagi korupsi yang dilakukan oleh keluarga Atut, jelas merugikan warga Banten. 

 

"Korupsi dinasti jelas merugikan warga negara, merugikan warga Banten," tegas Ade.  Ia mengingatkan, masyarakat Banten harus melawan korupsi. “Kenapa keluarga Atut maju terus di Pilkada Banten, karena akses terhadap sumber daya akan lebih mudah ketika berkuasa. Apalagi keluarga Atut kan keluarga pengusaha,” ujarnya.

 

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menegaskan, dinasti politik tidak boleh dilakukan, karena sudah dipastikan terjadi kolusi, korupsi, nepotisme (KKN).  Dinasti politik akan sangat berbahaya, jika kemudian kekuasaan politik itu seperti turun-temurun. Setelah ibu selesai menjabat, lalu beralih ke suami, atau anaknya. Jika seperti itu, maka tidak ada demokratisasi.

 

"Tidak bisa seperti itu. Kalau mau begitu, bikin saja negara kerajaan, harus ada jeda, ada batasan. Masak setelah ibu kemudian anaknya, itu melanggar demokrasi, dong," sindir Agus.(R2)

Komentar
Berita Terkini