Seminar Kebangsaan DPP GAMKI

Gunakan Sistem Proporsional Tertutup, Kuota Perempuan di Parlemen Terpenuhi?

Administrator Administrator
 Gunakan Sistem Proporsional Tertutup, Kuota Perempuan di Parlemen Terpenuhi?
Victor
Dari Kiri: Dr Akbar Ali (Kasubdit Pendidikan Politik Kemendagri), Saur Tumiur Situmorang (KOMNAS Perempuan), Dikson Siringoringo (Moderator), Jeirry Sumampow (Humas PGI) dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Anggota DPR RI) dalam acara Seminar Kebangsaan

Jakarta(Pelita Batak):

Pemilihan legislatif ke depan diharapkan menggunakan sistem pemilu proporsianal tertutup. Mengapa? Agar peluang kaum perempuan duduk sebagai wakil rakyat semakin banyak. Dengan demikian target 30 persen perempuan masuk parlemen dapat tercapai.

Hal itu dikatakan Kasubdit Pendidikan Politik Kemendagri, Dr Akbar Ali ketika membuka Seminar Kebangsaan dengan tema "Menjadikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan sebagai Sarana Pelayanan dan Partisipasi Politik Perempuan Gereja Se-Jabodetabek" yang diadakan DPP GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) bekerjasama dengan Kemendagri di Grha Oikuemene PGI, Jakarta, 10 Juni 2016.Hadir sebagai pembicara yaitu Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Anggota DPR RI), Saur Tumiur Situmorang (KOMNAS Perempuan) dan Jeirry Sumampow (Humas PGI).

Akbar melanjutkan, masih ada sekitar 25 kabupaten kota dimana wakil rakyatnya tidak pernah ada perempuan. Sementara anggota DPR perempuan yang berada di tingkat pusat baru mencapai kuota 12 persen.

“Kalau sebelumnya kuota 30 persen perempuan di parlemen hanya sebagai ‘pemanis’ saja, maka sekarang sudah banyak kemajuan. Kini, para perempuan menyadari pentingnya kuota perempuan 30 persen di parlemen. Itu berarti makin banyak perempuan sadar bahwa mereka punya hak dan tanggung jawab yang sama seperti pria dibidang politik dan lainnya,” imbuh dia.

Kemendagri, kata Akbar, merasa mendapat kehormatan bisa bekerjasama dengan GAMKI guna membantu menyosialisasikan pendidikan politik, khususnya bagi kaum perempuan.

Sementara Anggota DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, memulai pembicaraannya dengan menyatakan penolakannya jika Pancasila hanya dijadikan sebagai pilar berbangsa dan bernegara. “Pancasila adalah dasar negara, bukan pilar negara,” tegas dia.

Rahayu memaknai Pancasila dengan ikut terjun langsung ke dunia politik untuk menjadi garam dan terang sehingga menjadi berkat bagi dunia. “Sesungguhnya masuk ke dunia politik adalah panggilan Tuhan bagi setiap orang percaya,” kata dia, “Sebab, selama yang baik diam tidak melakukan apa-apa, maka yang jahatlah yang akan terus berkuasa.”

Sedangkan Humas PGI, Jeirry Sumampow, memaparkan penyebab perempuan terpinggirkan dalam dunia politik. “Perempuan terpinggirkan lantaran memiliki keterbatasan ekonomi sehingga tidak cukup modal untuk berkompetisi memperebutkan jabatan publik/politik,” urai dia.

Ditambah lagi, lanjut Jeirry, perempuan tidak menguasai struktur politik sehingga mudah kalah dalam meraih jabatan publik dan rendahnya pendidikan dan akses terhadap pendidikan.

Pun, kata dia, diperparah dengan masih kuatnya budaya patriakhi. “Perempuan diposisikan hanya berurusan di ruang domestik dan tak boleh bersentuhan di ruang publik. Ini memperlihatkan bahwa perempuan dianggap lebih rendah kedudukannya dengan laki-laki,” kata Jeirry yang juga Koordinator Tepi (Komite Pemilih Indonesia) ini.

Dalam berpolitik, menurut dia, perempuan punya standar moral tertentu. “Perempuan cenderung tidak akan melakukan segala cara, baik itu dengan cara keras maupun curang untuk menang dalam berpolitik, sehingga perempuan acapkali kalah dalam persaingan politik,” pungkas dia.

Sedangkan Anggota Komisioner Komnas Perempuan, Saur Tumiur Situmorang, mengutarakan pentingnya strategi peningkatan peran politik perempuan. Diantaranya, dengan mengembangkan strategi peningkatan kapasitas perempuan yang dilakukan secara sistematis untuk memenangkan konstestasi politik.

Juga, lanjut Saur, perlu didorong pencabutan, revisi kebijakan yang diskriminatif dan mengkriminalisasi perempuan. “Karena itu, perlu terus dilakukan koordinasi dan konsolidasi perempuan parlemen dan di luar parlemen untuk pemenuhan hak-hak konstitusional,” jelas dia.

Hal lainnya, ujar dia, dengan meningkatkan kesadaran perjuangan gerakan perempuan untuk mempengaruhi proses hadirnya kebijakan responsif gender. “Terakhir, strategi dengan mendorong riset paket UU politik pemilu yang memperhatikan isu afirmatif kuota minimal 30 persen,” tandas dia.(R3)

Komentar
Berita Terkini