Taput (Pelita Batak) :
Lima puluhan keturunan Op. Bolus Simanjuntak dari Huta Aek Napa, Sipahutar mendatangi kantor Polres Tapanuli Utara, Rabu pagi, 1 Februari 2017. Turut bersama mereka perwakilan Keturunan Op. Ronggur Simanjuntak. Mereka datang memenuhi panggilan polres terhadap dua saudara mereka, Sangkan Simanjuntak dan Lambok Simanjuntak. Kedua keturunan Op. Bolus Simanjuntak ini dipanggil sebagai saksi atas dugaan pembakaran lahan yang diklaim TPL sebagai areal konsesinya. Pemanggilan ini dilakukan atas aduan salah seorang karyawan TPL.
Keturunan Op. Bolus Simanjuntak, sangat kaget ketika ada surat panggilan pemeriksaaan oleh Polres Tapanuli Utara. Mereka merasa tidak pernah melakukan pembakaran di lahan perusahaan penghasil pulp tersebut. Tanah yang saat ini mereka kelola tersebut adalah tanah adat Op. Bolus Simanjuntak. Bahkan dilokasi tersebut masih terdap makam tua Op. Bolus Simanjuntak. Tanah tersebut sudah dikelola secara turun-temurun, dan saat ini mereka adalah generasi yang ke delapan.
Sebelum TPL datang, di pertengahan tahun 1990-an, mereka adalah petani kemenyan. Nenek moyang mereka dulunya hidup dari hasil kemenyan dan rotan. Namun ketika Indorayon membabat hutan kemenyan mereka, mereka pun memilih menanam nenas dan kopi di perladangan di kampung. Kala itu mereka tidak berani melakukan perlawanan karena perusahaan selalu didukung oleh aparat dan militer. Perlawanan yang mereka lakukan adalah tetap mengusahai kemenyan yang berada di lembah-lembah yang belum dibabat TPL.
Di awal tahun 2000-an, seiring dengan pertambahan jumlah generasi keturunan Op. Bolus Simanjuntak, kebutuhan tanah semakin meningkat. Mereka pun memberanikan diri melakukan perlawanan dengan menanami kembali tanah-tanah mereka yang diklaim TPL sebagai miliknya.
Mereka menanami kembali lahan-lahan kosong bekas tebangan eukaliptus yang sudah tidak ditanami lagi. Di lahan tersebut mereka sudah menanami nenas, jagung, kopi dan juga kemenyan di beberapa tempat, dan sudah ada yang beberapa kali penanaman. Hingga pada Oktober 2016 lalu, ada pihak keamanan perusahaan yang datang menghampiri mereka ke ladang yang sedang mereka kerjakan. Sangkan dan Lambok sedang berada di ladang tersebut.Mereka ditanyai terkait adanya asap di sekitar ladang mereka. Keduanya menjawab tidak mengetahui siapa yang membakar lahan tersebut. Namun pihak security merekam mereka dengan handycam dan kamera.
Peristiwa itupun berlalu, hingga kemudian di awal Januari 2017, mereka mendapat surat panggilan pemeriksaaan dari Polres Tapanuli Utara. Walau pemanggilan ini dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap mereka yang dilakukan perusahaan karena menuntut kembali hak mereka atas tanah adatnya, namun mereka memutuskan untuk memenuhi panggilan polisi.
Parsaoran Simanjuntak atau yang dikenal dengan Op. Rimpun Simanjuntak mengatakan bahwa upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh PT TPL ini tidak akan membungkam semangat mereka mempertahankan haknya atas wilayah adatnya. Hal senada juga dikatakan oleh Jaspayer Simanjuntak, bahwa mereka tidak melakukan tindakna kriminal apapun di lahan mereka sendiri.
Masih menurut Parsaoran Simanjuntak, mereka tidak pernah bekerja di lahan TPL, sebaliknya perusahaan tersebutlah yang telah memasuki wilayah adat mereka. "Di lahan tersebut masih terdapat makam tua leluhur kami, di sana juga terdapat tempat-tempat sakral yang sampai saat ini dijaga kesuciannya. Kami memiliki sejarah tanah tersebut. Silsilah kami juga sangat jelas," jelasnya.
Pemeriksanaan yang dilakukan polisi menurut mereka sangat berlebihan. Bahkan masyarakat yang ikut menemani proses pemeriksaan juga tidka menduga kalau proses pemeriksaan akan bertele-tele dan memakan waktu sangat lama. Pemeriksanaan terhadap dua saudara mereka mulai sekitar jam 10.30 Wib sampai pukul 18.00 Wib. Selain prosesnya yang sangat panjang, mereka juga heran ketika polisi melarang mereka untuk ikut menemai teman mereka diperiksa walaupun itu hanya duduk-duduk di teras ruang pemeriksaan.
Kedua terperiksa juga mengatakan cukup terbeban dengan pertanyaan-pertanyaan yang berulang-ulang dari juru periksa. Mereka yang baru pertama kali diperiksa polisi menjadi gugup menjawan pertanyaan-pertanyaan polisi tersebut. Selain proses yang bertele-tele, mereka juga kesulitan memahami pernyataan dan menjawabnya dalam bahasa Indonesia. Sehingga ada beberapa pertanyaan yang benar-benar mereka tidak pahami sehingga jawabannya juga tidak begitu pasti. Namun mereka merasa nyaman karena saat pemeriksanaan mereka didampingi tim pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Sumatera Utara (BAKUMSU) dan KSPPM.
"Kami berharap pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara turut mendukung perjuangan kami, karena bukan dalam posisi merampas tanah orang," harap Parsaoran Simanjuntak. Harapan tersebut juga telah kami sampaikan langsung kepada Nikson Nababan, Bupati Tapanuli Utara ketika melakukan audiensi ke rumah dinas Bupati sesaat setelah pemeriksaan selesai.
Ketika itu, lanjutnya, Bupati menegaskan bahwa pemkab Tapanuli Utara akan melindungi warganya, dan pihak TPL tidak boleh sewenang-wenang melaporkan warganya. Dia juga berjanji meminta pihak perusahaan untuk segera mencabut pengaduannya. Sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat adat, menurut Nikson Nababan, tahun ini pemkab sudah mengagendakan pembuatan Perda Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat di Tapanuli Utara.
KSPPM sendiri memandang upaya kriminalisasi ini merupakan cara lama yang selalu digunakan pihak perusahaan untuk menakut-nakuti masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya. Perusahaan harusnya menyadari bahwa saat ini paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, posisi masyarakat adat di wilayah adatnya semakin kuat. Terlebih saat ini, lokasi yang dikelola masyarakat tersebut adalah salah satu dari 11 wilayah adat di Tapanuli yang diajukan KSPPM, AMAN, BAKUMSU dan HaRI untuk diselesaikan. Ke 11 wilayah adat ini pun sudah masuk dalam daftar penyelesaian konflik yang difasilitasi Kantor Staf Kepresidenan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan dalam acara penyerakan SK Pelepasan Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta oleh Presiden RI, Joko Widodo, 28-30 Desember 2016 yang lalu, Menteri Kehutanan, Siti Nurbaya menegaskan bahwa di tahun 2017 ini ke 10 kasus lainnya menjadi priorioritas yang akan diselesaikan.
Menanggapi pelaporan PT TPL ini, Saurlin Siagian sebagai Ketua BAKUMSU mengecam reaksi cepat pihak Polres Tapnuli Utara melakukan pemeriksaan terhadap warga yang mngelola tanahnya. Selain karena ini sedang dalam proses penyelesaian, sebaiknya pihak polres bertindak juga mempertimbangkan Putusan MK No. 95 Tahun 2016 yang menyatakan masyarakat adat yang menetap di kawasan hutan yang menguasai tanah secara turun temurun tidak boleh dipidanakan.
Pemanggilan terhadap masyarakat adat Keturunan Op.Bolus Simanjuntak, menurut Roganda Simanjuntak¸ ketua AMAN Tano Batak juga merupakan upaya kriminalisasi terhadap seluruh masyarakat adat di Indonesia khsusunya di Tanah Batak. Oleh karena itu semua masyarakat adat mengecam upaya ini. Dia juga berharap polres segera menghentikan proses hukum ini. (rel/TAp)