Jakarta (Pelita Batak) :
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) Masa Bakti 2015 – 2020, Baktinendra Prawiro,MSc,MH mengatakan persoalan politik di Indonesia memang sulit dilepaskan dari dinamika kehidupan keberagamaan, terlebih karena jargon-jargon mayoritas-minoritas keagamaan belum benar-benar hilang dari kehidupan politik. Karena itu, bisa dipahami mengapa Pilkada DKI yang salah satu calon kuatnya adalah PETAHANA, yang datang dengan dua sisi minoritasnya (Agama dan Etnis), namun dengan prestasi yang membanggakan, justru menghasilkan dinamika sosial politik yang memanaskan kondisi politik Nasional. Namun sayangnya, kondisi tersebut kembali menempatkan dan menguji komitmen KEINDONESIA dari warga Gereja.
Demikian disampaikan Baktinendra Prawiro,MSc,MH dalam pidatonya pada acara dies natalis PIKI ke-53 di Auditorium William Soeryadjaya, kampus UKI, Jakarta, Senin (19/12/2016). Untuk itu, lanutnya semangat Natal 2016 dan Dies Natalis ke-53 PIKI, menghadirkan optimisme dan sekaligus menginspirasi dalam memahami dan memaknai dinamika kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebersamaan sebagai satu Bangsa.
Khususnya saat perayaan dies natalis mengusung tema "Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa (Amsal 14:34) dan Subtema "Keindonesiaan dan Kekristenan". Sebagaimana diamanatkan dalam Amsal 14:34, pesan komprehensif sebagai basis spiritualitas Inteligensia Kristen (PIKI) dalam menjawab tantangan kediriannya di tengah-tengah pergumulan bangsanya. Menurut Bahtinendra, kebenaran atau Righteousness menunjuk pada dua dimensi yang amat penting. Pertama, sisi administrasi pemerintahan yang memperlakukan rakyatnya secara baik dengan terus menegakkan keadilan bagi penduduknya. Jika ini dikombinasikan dengan sisi Kedua, yakni sebagaimana perintah Alkitab supaya umat Tuhan mengasihi Tuhan Allahnya dengan mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, yaitu dengan memberlakukan KEBENARAN yang berkeadilan. Sehingga kebenaran bukan hanya kebenaran yang bersifat 'religious' belaka, tetapi merupakan panggilan moral yang jika terwujud akan meninggikan derajat bangsa.
Sebuah dialektika panggilan kehidupan sehari-hari dalam berbagai dimensi, termasuk dimensi keimanan yang kontekstual dinamis. Berangkat dari kepedulian mendalam atas dinamika mengkhawatirkan yang tersaji selama beberapa bulan terakhir.
"Kami harus mengatakan bahwa perkembangan ini terasa sebagai sebuah reversal move atau gerak mundur dari proses perkembangan demokrasi di Indonesia. Terutama ketika gerakan protes itu menemukan momentum untuk terus menyudutkan petahana dan kini menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama," ujarnya. Di samping kasus itu, lanjutnya, ke-Indonesia-an dan kekristenan sebagaimana kita hayati seolah juga diuji dengan fatwa MUI yang seolah meng-kafir-kan kelompok agama non- Muslim, termasuk Kristen. Fatwa yang secara cepat berkembang menjadi aksi intoleran di beberapa bagian persada Indonesia ini.
"Kondisi ini menurut kami merupakan ujian yang sangat kritis bagi Ke-Indonesi-an pada satu sisi, atau ujian bagi pengakuan keberagaman yang memang selalu berusaha menemukan titik keseimbangan baru. Pada saat yang sama kondisi ini menguji Gereja dan ke-kristen-an dalam panggilannya meng-Indonesia, terutama di tengah semakin derasnya gerak intoleransi yang mengusung isu agama," ujarnya.
"Melalui tema kali ini, maka kami mencoba untuk menatap lebih optimis ke depan dengan mengawalinya melalui refleksi diri secara kritis. Kita tidak akan mampu mengubah dunia dan lingkungan kita, jika kita tidak mampu mengubah diri sendiri dan kemudian terus-menerus membaharui diri sendiri," lanjutnya.
Dilaporkannya, Pasca Kongres V PIKI Maret 2015, ditemukan kenyataan betapa sulitnya melakukan proses re-konsolidasi PIKI. Terutama karena jadwal konstitusi semua Dewan Pimpinan Daerah di tingkat Provinsi tidak dapat ditentukan karena memang tidak ada data yang tersedia sebagai acuan bekerja. Belakangan, Dalam kerja keras Team Revisi AD/ART yang sesuai mandat Kongres harus merevisinya, juga sudah dapat diselesaikan Revisi Peraturan Organisasi. Guna memacu Konsolidasi dipangkas sejumlah aturan yang agak kaku dan berdasarkan revisi Peraturan Organisasi, dalam keadaan mendesak kami menggunakan pendekatan top down untuk re-organisasi. Dalam artian setiap Penetapan DPD (Tingkat provinsi) dan juga DPC (Tingkat Kabupaten dan Kota) akan dilakukan secara langsung ditangani oleh DPP. Hal ini berlangsung dalam kondisi darurat untuk mengaktifkan kembali sejumlah DPD dan DPC yang mengalami kevakuman selama kurang-lebih 5 tahun.
Dengan pendekatan ini, maka DPP secara sengaja melakukan reschedule sejumlah acara Organisasi yang dimandatkan Kongres mengingat Konsolidasi Organisasi sangat mendesak untuk dilakukan. Pertama, jadwal rapar kerja nasioanl yang diamanatkan terlaksana setidaknya 1 (satu) tahun pasca KONGRES April 2015, dengan terpaksa ditunda ke Maret 2017. Dan itu berarti, pelaksanaan Kongres Luar Biasa menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang baru juga bergeser. Kedua acara, yakni pembahasan AD/ART yang baru dan penetapannya kami satukan, yakni RAKERNAS dan KLB, untuk lebih menghemat waktu kami jadwalkan untuk dilaksanakan pada Bulan Maret 2017 dengan tempat pelaksanaan di Jakarta. Perubahan waktu ini disebabkan masa konsolidasi yang ternyata membutuhkan waktu yang lebih panjang, terutama untuk mengejar target agar setidaknya 20 DPD (tingkat Provinsi) dapat kami aktifkan kembali.
Jika pada Dies Natalis 2015 hanya terdapat 5 Dewan Pimpinan Daerah Provinsi yang memiliki Surat Keputusan Sah, kini ada setidaknya 20 Provinsi yang sudah memiliki Surat Keputusan yang sah. Meski masih ada satu atau dua daerah yang belum terkonsolidasi secara baik. Ditambah beberapa daerah yang akan melaksanakan konferda. Sehingga untuk Rakernas dan KLB pada bulan Maret 2016, setidaknya PIKI memiliki 25 Dewan Pimpinan Daerah yang definitif.
"Dewasa ini kita menyaksikan perkembangan dunia yang semakin inter-connected, inter-dependent dan bahkan semakin mengarah pada interaksi tanpa mengenal batas Negara (borderless connectivity). Hal inipun jelas menjadi perhatian dan harus menjadi agenda kerja Bangsa Indonesia dalam hal penetapan program pembangunan dan juga bagaimana upaya mencapai target pembangunan menimbang aspek ini," ujarnya.
Multi-stakeholders pertnership adalah kunci untuk mencapai tujuan pembangunan global yang semakin berdimensi lintas-batas, lintas aktor, dan sekaligus juga lintas sektoral. Sementara di lain pihak, fenomena brexit, jalur sutra Tiongkok, dan Donald Trump effect memberikan petunjuk serta urgensi bagi Indonesia untuk tidak memberi ruang bagi mobocracy.
"Sementara dunia mengglobal, kita justru bergerak pada arah sebaliknya dengan memberi ruang bagi sekelompok orang dalam membajak ruang publik dan menentukan sendiri klaim kebenaran dan memaksa pengambil kebijakan untuk memenuhi tuntutan mereka. Dua fenomena yang bertolak belakang ini mesti menjadi agenda serius untuk dituntaskan oleh Negara," ujarnya.
Agak menyedihkan, katanya, karena sebetulnya kualitas kehidupan demokrasi Indonesia mengalami perbaikan selama beberapa tahun terakhir. Salah satu indikator membaiknya kualitas demokrasi adalah ketika demokrasi menjadi “the only game in town”, atau ketika hukum dan demokrasi ditaati semua stake-holder. Dan semakin matang ketika penentangan terhadap demokrasi tidak di lakukan di luar mekanisme hukum, jikapun terdapat kekuatan yang berusaha menentangnya, tidaklah cukup signifikan dibandingkan kekuatan yang mendukung demokrasi.
"Tetapi, dalam waktu yang cukup singkat akhir-akhir ini, justru kualitas demokrasi bagaikan mengalami stagnasi atau seperti mengalami degradasi ketika semakin menguat dan massif gerakan intoleran melalui pembajakan ruang publik ataupun melalui tuntutan massa. Bahkan keputusan hukum pun menghadapi agenda serta kepentingan untuk beroleh keadilan melalui pemaksaan atas proses hukum dengan menggunakan tekanan massa. Pada akhirnya, kondisi ini bukan hanya semata mencederai proses demokrasi, tetapi juga mengancam kehidupan bersama sebagai Bangsa yang majemuk," ujarnya.
DPP PIKI, menilai, dibutuhkan tindakan cerdas dan menentukan pada situasi seperti ini. Persoalannya bukan lagi sekedar menjamin ataupun melindungi kelompok yang sering disebut minoritas, sebuah terminologi yang cenderung kabur dan tendensius, sebagaimana tercatat dan dihindari dalam konteks agama. Karena mengesankan bahwa seolah-olah tidak semua warga-negara sama di hadapan hukum. Bahkan melanggar / bertentangan dengan kesepakatan politik yang dibuat oleh para pendiri negara Indonesia.
Apalagi kalau disadari atau tidak, dan disengaja ataupun tidak, telah digunakan istilah "kafir," oleh sebuah lembaga bertingkat nasional dalam sebuah keputusan resmi. Hal ini terkesan meniadakan fakta sejarah bahwa Indonesia terbentuk melalui sebuah "collective action."
Interupsi besar atas kehidupan bersama di pengujung tahun 2016 ini menyadarkan kita semua bahwa Indonesia masih terus menjadi. Jika semangat dan kebersamaan yang adalah sejarah dan saripati ke-Indonesia-an semakin tidak kita hargai, maka Bangsa ini kedepan akan tidak memiliki apa-apa. Tetapi, panggilan sejarah kita adalah bagi Bangsa Indonesia yang majemuk. Karena itu, kami menegaskan dan sekaligus mengatakan lagi, bahwa Indonesia adalah kemajemukan dan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Perjuangan atas realitas ini adalah perjuangan bersama dan bukan perjuangan satu etnis, satu golongan ataupun satu agama. Karena itu, tidak ada privilege terhadap satu kelompok ketika kita sama sama berusaha membangunnya dengan lebih beradab.
Pada usianya yang ke-53 ini, PIKI berada dalam realitas kebangsaan Indonesia yang terus menerus diuji keutuhannya. Negara ini telah ikut diperjuangkan dan dipertahankan kemerdekaannya oleh banyak pihak. Namun saat ini, dewasa ini, Indonesia sedang menghadapi begitu banyak persoalan, termasuk di dalamnya ancaman menjadi negara gagal, minimal negara sekunder, akibat tekanan demografi dan konflik-konflik sosial yang terus berkembang.
Termasuk disini, tentu saja persoalan belum sinkronnya prestasi demokratisasi dengan kesejahteraan rakyat yang terus menerus meningkat. Monopoli kekerasan dan pemaksaan yang seharusnya hanya dimiliki oleh negara berdasarkan hukum, justru saat ini terkesan telah dan sedang terdistribusi ke banyak kelompok masyarakat.
"Mobocracy, demikian orang menyebut, telah menjadi ancaman riil dalam mengakhiri tahun 2016. Motif-motif ekonomi, politik, hegemoni maupun perebutan resource adalah sumber konflik dan kekisruhan yang terjadi dan tindakan kekerasan yg disulut gejala sektarianisme, bahkan ketika bertentangan dengan konstitusi, ... semua itu membuat rakyat banyak bertanya: "Di manakah Negara?" katanya.
Ditegaskan, Negara /Pemerintah haruslah mempunyai standing position yang jelas dan tegas terhadap keadaan yang sangat berbahaya dewasa ini. Bukan lagi saatnya memanipulasi situasi dan menganggap “seolah-olah” bukan masalah besar. Karena saat ini, sudah jelas, dengan memberikan angin segar kepada kelompok masyarakat yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum dan konstitusi, yang terjadi justru adalah gugatan terhadap Ke-Indonesia-an. Identitas segmentatif seperti agama, kepercayaan, suku, kedaerahan dan etnisitas di Indonesia yang plural haruslah memperkokoh identitas keindonesiaan itu sendiri.
Masing-masing identitas tersebut perlu dipandang sebagai kekuatan bangsa dan tidak dibiarkan mereduksi eksistensi kelompok masyarakat lainnya. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang lebih dominan dari yang lain. Dengan demikian tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan-tindakan anarkis atas nama agama, ideologi, kepercayaan dan perbedaan. Itulah esensi Indonesia yang harus kita pelihara.
Kalimat-kalimat penegasan di atas, adalah refleksi mendalam DPP PIKI, atas realitas keindonesiaan, kemana enerji, pikiran, ide dan kreativitas kami tertuju dan doa kami panjatkan. Dies Natalis ke-53 ini membuat kami rindu menegaskannya secara terus menerus dan konsisten, baik sendiri maupun bersama lembaga-lembaga Kristen lainnya, bahkan seluruh elemen bangsa. Yaitu bahwa, jika negara terus menerus senyap dan membiarkan berlangsungnya pencideraan atas komitmen kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah tuntas sejak dahulu, akan berujung pada gagalnya kita mengindonesia secara beradab. Dalam keperdulian itulah, kami, DPP PIKI berkeyakinan, bahwa kita semua diutus untuk menegakkan derajat bangsa melalui sikap dan dengan melakukan hal-hal yang tepat dan benar.
"Bila persoalan yang pokok dan utama tidak segera diatasi, maka akan banyak agenda pembangunan nasional yang terhambat," ujarnya.
Sejumlah persoalan yang akan akan menghambat pembangunan nasional diantarnaya, Persoalan hukum yang juga masih menjadi persoalan di Indonesia. Fakta penangkapan KPK terhadap hakim maupun jaksa serta pengacara dan aparat penegak hukum lainnya menunjukkan bahwa pengadilan masih membutuhkan perbaikan untuk menjadi benteng keadilan yang sesungguhnya. Praktek pungli di jalan raya, skandal narkoba di lapas dan kasus lainnya menunjukkan masih rapuhnya sistem penegakan hukum. Sebagai suatu negara hukum sebagaimana amanat konstitusi maka perbaikan di sektor hukum perlu menjadi perhatian pemerintah. Pembangunan sektor hukum memang masih tertinggal dibandingkan sektor pembangunan lainnya. Karena itulah PIKI mengadakan seminar nasional REFORMASI HUKUM untuk menjadi masukan bagi pemerintah dalam menata sektor ini.
"Menyongsong bonus demografi beberapa analis ekonomi memperkirakan dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 7%, kurang lebih setingkat Cina," ujarnya.
Berikutnya tantangan di bidang ekonomi, khususnya di tengah suasana ekonomi global yang relatif masih lesu, dan menurut beberapa analis bisa jadi cukup rentan terhadap krisis finansial berkepanjangan. Dengan melemahnya pasar ekspor, jalan keluar yang terbuka mau tidak mau adalah peningkatan konsumsi domestik, yang diharap ikut memacu peningkatan produksi dalam negeri, dan pembangunan infrastruktur, sebagai penopang GDP yang berpotensi menciptakan lapangan kerja. Dengan itupun pertumbuhan ekonomi sekitar 5% selama kurun waktu 2016, yang ditopang oleh belanja negara, pada tahun 2017 hanya ditargetkan sekitar 5,1-5,4%.
Reformasi hukum menuju terwujudnya rejim hukum yang memiliki kepastian dan keadilan hukum, sebagai penopang pembangunan masyarakat sejahtera membutuhkan kesamaan dan kesatuan visi. Demikian juga penbangunan ekonomi yang berkesinambungan mensyaratkan kerja keras dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Keretakan dalam persaudaraan sebangsa setanah-air akan melemahkan daya juang dan daya kerja bangsa. Bahkan membuka peluang terhadap terciptanya peluang destabilsasi nasional, erosi pada modal sosial bangsa dan disintegrasi NKRI. Apalagi kalau terjadinya proses fragmentasi yang mulai berkembang saat ini layak diduga merupakan bagian dari "proxy war" yang dapat menempatkan Indonesia pada posisi lemah dan terdominasi pihak-pihak asing.
Dikatakannya, tanggal 19 Desember telah diusulkan sebagai Hari Bela Negara. Telah dikeluarkan bahan sosialisasi dengan indikator-indikator cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan Pancasila sebagai ideologi bangsa, kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara, memiliki kemampuan awal untuk bela negara.
Tanggal 22 Desember juga akan memperingati Hari Ibu. Bukan hanya perempuan sebagai ibu dan istri, tapi juga sebagai salah-satu pilar penopang rumah tangga dan bangsa. Dalam kenyataannya sebetulnya kita juga perlu memberi penghormatan kepada perempuan sebagai pekerja / pencari nafkah, akan tetapi juga sayangnya sebagai kaum yang tereksploitasi, bahkan teraniaya.
"Di Indonesia kita sudah ada Menteri Urusan Perempuan, Komnas Perempuan dan berbagai lembaga pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Akan tetapi drngan masih terjadinya eksploitasi terhadap perempuan, termasuk dalam kasus-kasus female human trafficking, PIKI juga merasa terpanggil untuk ambil bagian dalam pelayanan ini," jelasnya.
Tanggal 25 Desember kita juga memperingati hari jadinya Indische Partij. Partai politik dengan wawasan kebangsaan yang pertama di Indonesia. Didirikan pada tahun 1912. Dipimpin tokoh yang biasa disebut Tiga Serangkai, Indische Partij menegaskan tiga tujuan utama dalam program partai sbb: 1) Menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme Indonesia 2) Membangun kerjasama antar kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan latar belakang yang berbeda 3) Mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Kiranya semangat yang semula, yang mencita-citakan Indonesia bersatu, dengan dasar kebangsaan dan cinta tanah-air tetap menginspirasi kita semua. (rel/TAp)