SEORANG putri bertanya kepada ayahnya, “apakah tidak
bermasalah ada majelis hakim Simanjuntak yang akan menyidangkan kasus Ferdy
Sambo?â€, setelah membaca susunan majelis hakim PN Jakarta Selatan yang terdiri
dari Wahyu Iman Santoso sebagai ketua dengan Morgan Simanjuntak dan Alimin
Ribut Sujono masing-masing anggota.
Si ayah, sebagai orang Batak dengan hati-hati menjawab,
tidak akan menimbulkan masalah sepanjang hakim setia dan taat pada Sumpah
Jabatan, kode etik dan moral serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Biasanya seorang hakim yang ditunjuk menangani perkara berat sudah teruji
integritasnya dalam menegakkan hukum dan memujudkan keadilan dengan irah-irah
putusan: “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esaâ€.
Kalau para hakim, JPU, advokat, saksi dan para ahli
menyimpang dari peraturan perundang-undangan, kode etik dan moral, apa bedanya
mereka dengan Ferdy Sambo dan isterinya?
Seperti diketahui bahwa Senin, 17 Oktober 2022 akan dimulai
sidang kasus terbunuhnya Brigadir Polisi Nofriansyah Josua Hutabat tanggal 8
Juli 2022 di rumah Dinas Kadivpropam Irjenpol Ferdy Sambo di bilangan
Durentiga, Jakarta Selatan.
Pembunuhan polisi oleh polisi di rumah dinas polisi serta di
depan jenderal polisi dan ajudannya sendiri, sungguh menggemparkan seluruh
Indonesia serta menciderai kewibawaan Polri sebagai institusi negara.
Pada awalnya, “tragedi Duren tiga†ini seolah terjadi
sebagai kejadian biasa dari tempat kejadian perkara (TKP), otopsi ke RS Polri
Kramatjati, jenajah diterbangkan ke rumah orangtuanya ke Jambi. Kecurigaan
mulai timbul karena permintaan ayah dan ibu korban Samuel Hutabarat dan Rusti
Simanjuntak membuka peti jenazah untuk menyaksikan wajah putranya ditolak oleh
aparat pengantar dari Jakarta.
Ternyata apa yang disampaikan kepada keluarga semuanya
adalah rekayasa, skenario canggih. Bahwa Brigadir J bukan wafat karena
tembak-menembak dengan Bharada Richard Eliser Pudihang Lumiu (Bharada E)
ajudan. Sebelumnya diumumkan Brigadir J melecehan Ny. Putri Candrawati dengan
ancaman pistol, isteri sang jenderal berteriak dan Bharada E datang dan
Brigadir J melepaskan tembakan yang disambut Bharada E dengan tembakan pula
yang mengakibatkan Josua tersungkur dan wafat. Dan kejadian itu dilaporkan Ke
Polres Jakarta Selatan.
Ternyata itu semua adalah rekayasa, skenario bikinan sang
Irjenpol yang dirancang dengan rapi, dan hampir semua “terbohongi†termasuk
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Dengan kegigihan Kamarudin Simanjuntak dan rekan-rekannya
sebagai Kuasa Hukum orangtua Brigadir J, menutut agar kasus kematian putranya
diungkap sebagaimana adanya, terbukalah tabir kejahatan itu sedikit demi
seikit.
Kasus ini sudah disidangkan Komisi Kode Etik Polri KKEP),
Ferdy Sambo sudah dkenakan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) dari Polri,
namun motif pembunuhan Brigadir J belum terungkap, yang memang adalah tugas
Penyidik.
Tetapi sudah tiga bulan Penyidik, di bawah Tim Khusus
bentukan Kapolri dengan 5 Jenderal, morif itu tetap teka-teki, karena Ferdy
Sambo dalam pengakuannya bahwa motif pembunuhan itu direncanakan adalah untuk
mempertahankan harkat dan martabat keluarga, semata.
Menjadi tugas majelis hakimlah yang mempertimbangkan apakah
benar atau tidak, motif pembunuhan itu. Yang jelas bahwa Ferdi telah mengaku
kejadian itu direncakan, dan menjadi tugas semua yang berperan di persidangan,
JPU, Advokat, Majelis Hakim serta Saksi dan Ahli, hendaknya mengingat sumpah
jabatan dan sumpah saksi dan ahli.
Wakil Ketua PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso yanng
menjadi ketua majelis dengan Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono, tentu
sudah dipertimbangkan, sebagai pribadi-pribadi yang handal, selesai dengan
dirinya, dapat membedakan kepentingan pribadi atau identitas dengan kepentingan
hukum, keadilan dan kebenaran.Tampilnya Morgan Simanjuntak sebagai anggota
majelis hakim justru akan memberikan nilai tersendiri dalam objektifitas
penanganan kasus.
Kehadiran Febry Diansyah dan Rasamala Aritonang, yang
dikenal keukeuh memperjuangkan hukum dan keadilan ketika berkiprah di KPK,
tidak menjadi batu sandungan dalam proses persidangan ini. Keduanya adalah yang
mungkin menjilat air liunya sendiri, karena mereka telah berikrar akan
mengungkap kejadian yang sebenarnya secara objektif dan faktual.
Mudah-mudahan keduanya dapat memberi warna baru dalam dunia
advokat yang sudah hampir-hampir tidak ada lagi kebanggaan, sebab era
belakangan ini advokat justru dianggap mempersulit penyelesaian perkara, sering
tidak membedakan penegakan hukum dengan pembelaan kepentingan klien.
Diskusi sang putri ayahnya, sebagai Orang Batak memang
beralasan, sebab ibu almarhum Brigadir Josua adalah Boru Simanjutak, satu marga
dengan Kamarudin Simanjuntak sebagai Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J dan Morgan
Simanjuntak sebagai anggota Majelis Hakim. Tetapi tidak perlu ada yang
dikhawatirkan.
Sebab apa yang dituntut Keluarga Brigadir J adalah hal
wajar, siapa orang tua yang tidak sedih dan marah anaknya seorang polisi dibunuh polisi di
rumah polisi dan kematian anaknya juga dimanipulasi polisi?
Sebagai orang Batak yang taat dan berpedoman dengan Dalihan
Na Tolu (Tungku Nan Tiga) yang terkenal dengan: “Somba marhula-hulaâ€; “elek
marboru†dan “manat mardongn tubu†yang terjemahan bebasnya, hormat kepada
pihak keluarga isteri, ibu dan nenek ke atasâ€, “sayang kepada pihak keluarga
anak perempuan, saudara perempuan tante
dan seterusnya†serta “hati-hati dan bijaksana terhadap saudara
semarga/serumpunâ€.
Morgan Simanjuntak sebagai orang terpelajar dan profesional,
dapat membedakan mana tugas negara dan mana urusan Adat. Masalah hukum dan
keadilan adalah bersifat menyeluruh, universal dan hati nurani. maka ada
ungkapan “Fiat justisia ruat caelum†(Hendaklah keadilan ditegakkan walaupn
langit akan runtuhâ€: kredo Calpunius Piso Caesoninus.*
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di
Jakarta.