KURANG LEBIH, ada dua-tiga saat ini berita hangat yang mewarnai media di negara kita di samping berita-berita rutin baik yang menyangkut masyarakat, bangsa dan negara. Berita tersebut dapat dikatakan yang menguras perhatian masyarakat adalah kasus “polisi tembak polisi di rumah polisi dan diperiksa polisi di kantor polisi oleh polisiâ€; pemberantasan mafia pertanahan yang dimulai oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ATR/BPN yang baru Marsekal Hadi Tjahjanto; dan tentunya adalah yang menyangkut Pemilihan Umum yang akan kita laksanakan secara serentak tahun 2024.
Televisi berita swasta hampir 20 persen siarannya adalah menyangkut peristiwa tragis “tembak menembak polisi dengan polisi†dan memang menguras energi bangsa ini, sampai dua kali Presiden Joko Widodo memberikan perintah agar diusut tuntas, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga sampai menugaskan empat Pimpinan Polri untuk mengusutnya.
Masyarakat menunggu bagaimana duduk perkara meninggalnya Brigadir Polisi Nopriansyah Yosua Hutabarat tersebut, apakah akan terjawab pertanyaan masyarakat terutama Keluarga yang diwakili para Kuasa Hukumnya mengusut tuntas kasus tersebut, apakah tembak-menembak atau sebaliknya?
Kegeraman masyarakat harus dimaklumi sebab apa yang diumumkan pada awalnya dan perlakuan terhadap jenazah korban tidak sebagaimana lazimnya, wafat Jumat diumumkan Senin, ada apa dan mengapa? Wajar masyarakat bertanya, dan ingin tahu.
Untuk itulah Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD mengatakan, bahwa pengungkapan kasus Brigadir J mempertaruhkan kredibilitas tidak hanya Polri tetapi juga Pemerintah Republik Indonesia.
Masyarakat berharap kasus itu dibuka apa adanya sesuai dengan fakta dan data yang ada, jangan lagi ada dusta di antara kita sesama anak bangsa, apalagi di Orang Batak ada ungkapan “jempek do pat ni gabus†(pendek kaki kebohongan-artinya bagaimanapun kebohongan itu lari pasti ketahuan; sedalam apapun bangkai itu dikubur, baunya tetap tercium juga).
Dalam skala Bekasi ada pelajaran bagi bangsa ini yaitu kasus “Sengkon-Kartaâ€, untuk itu Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Tim Khusus bentukannya, tidak akan meninggalkan “jejak buruk†di akhir karier mereka.
Yang cukup mencengangkan sekaligus memberi harapan adalah kejadian di Kementerian ATR/BPN dengan digulungnya para “mafioso†yaitu para mafia Tanah yang terdiri aparat ATR/BPN dan pihak swasta dan pemodal dengan mempermainkan kesempatan yang dimiliki untuk “menghilang-alihkan†hak atas tanah dari pemilik yang sah ke orang lain.
Keraguan dan membingungkan atas langkah Presiden melantik dan mengangkat Marsekal atau Jenderal TNI AU jadi Menteri Agraria, tetapi setelah bekerja sungguh mencengangkan, sebab ternyata bahwa tanah-tanah di negara ini diatur dan dikuasai oleh mafioso, bukan oleh negara atau pemiliknya.
Masyarakat berharap agar pemberantasan mafia tanah itu tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di desa-desa, sebab begitu besar tanah milik Masyarakat Hukum Adat telah menjadi perkebunan sawit atau Hutan Tanaman Industri, contohnya saja tanah di sekitar Danau Toba yang telah dikuasai PT Inti Indorayon Utama yang sekarang dilanjutkan PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL) sampai sekarang tidak jelas batas-batasnya, oleh karenanya sejak berdirinya perusahaan pulp dan rayon tersebut sampai sekarang sering menimbulkan konflik.
Untuk itu Kementerian KLH harus menyelesaikannya dengan Kementerian ATR/BPN, kalau tidak kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas Pemerintah akan tetap rendah, dengan anggapan bahwa Pemerintah hanya mampu menekan rakyat sementara tunduk dan patuh kepada pemodal.
Sampai sekarang juga belum jelas, pengalihan fungsi hutan ratusan herkar di Tele Kabupaten Samosir apakah legal atau ada unsur “mafia tanahâ€, sebab Bupati dan Sekretaris Daerah Toba-Samosir telah disidangkan di Pengadilan Negeri Medan atas pengalihan hutan tersebut.
Kita yakin bahwa Marsekal Hadi Tjahjadi bukan tipe yang suam-suam kuku dalam bekerja sebagai tokoh penerbang militer yang profesional dan perfeksionis, pasti bekerja tuntas dan menyeluruh.
Berita ketiga, tentunya rutin tapi sangat menyita enerji bangsa, terutama para politisi dan tokohnya bagaimana mendapat dan menduduki kursi di Pemerintahan dan di Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPRD, atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pemilu serentak 2024 ini yang pertama pengalaman bangsa kita, pada hari yang sama seorang pemilih akan menentukan pilihan pada calon untuk anggota DPRD Kota/Kabupaten serta Pasangan Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati; DPRD Provinsi, Gubernur/Wakil Gubernur; DPR RI dan DPD RI, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk Tingkat DPRD Kabupaten/Kota saja sudah rumit apalagi kalau ada 10 partai peserta Pemilu, rata-rata 5 orang saja sudah 50 foto, ditambah tiga calon untuk pasangan Bupati/Walikota sudah enam foto, semua 56 foto, pasti akan lebih dari itu untuk tingkat Provinsi, tingkat pusat yaitu DPR dan DPD serta Presiden/Wakil Presiden semuanya akan ada tujuh kertas suara. Mungkin akan menguras enerji Pemerintah dan KPU serta Bawaslu dari tingkat pusat sampai di daerah.
Tetapi yang lebih seru adalah masalah siapa mencalonkan siapa serta koalisi atau gabungan partai mana dengan yang mana. Ilmu otak-atik mulai ramai dan tidak tahu kapan berakhir dan siapa yang mengotak-atik juga tidak jelas, sebab banyak yang merasa berkompeten serta bertanggung jawab untuk terpilihnya pimpinan nasional yang mumpuni, tentu menurut yang sedang main ilmu otak-atik.
Belajar dari pengalaman, para kandidat itu tidak usahlah saling melemahkan, tokh bisa juga satu perahu di kabinet seperti Jokowi/K.H. Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto/Sandiaga Uno, sebaiknya adu program sajalah, demikian juga para pendukung, nggak usahlah galak-galak, tokh para tokoh itu juga sama-sama menang.
Di tingkat kawasan juga kelihatannya masalah Tahun 2024 ini sudah mulai menggelora, ancang-ancang sudah mulai bergerak. Bagi daerah provinsi dan kabupaten atau kota yang Kepala Daerahnya sudah dua periode, tidak begitu berpengaruh bagi pemenuhan kewajiban kepada masyarakat. Tetapi daerah yang Kepala Daerahnya baru satu periode, pemenuhan kesejahteraan warga sudah mulai terabaikan sebab semua sudah dikaitkan dengan pencitraan dengan tujuan agar terpilih di tahun 2024.
Bagi sebagian petahana sekarang mungkin berusaha agar bisa seperti Humbang Hasundutan dan Kota Pematang Siantar calon tunggal, petahana berhadapan dengan kotak kosong.
Untuk orang tertentu yang “punya kemampuan “memborong perahu†artinya tidak ada yang bisa tampil karena “perahu-perahu layu karena layarnya tidak berkembangâ€, kecuali sudah ada yang mempersiapkan calon independen.
Tapi itu tergantung pendidikan demokrasi masyarakat, apakah terbawa pola lama dengan “politik secangkir kopi†dengan “togu togu ro†sejarah akan mencatatnya, artinya kalau para pemilih dan elit masyarakat masih berpola pikir seperti itu, pemilih akan “tertipu†dan harkat dan martabat partai akan terperdaya.
Para cendikiawan perlu mendidik masyarakat agar belajar dari pengalaman. Itulah sekelumit berita yang mewarnai masyarakat dan bangsa kita sekarang, sebab masalah mafia minyak goreng, kelihatannya sampai “di situ sajaâ€, tidak ada ujungnya.***
Penulis adalah wartawan senior dan avokat berdomisili di Jakarta.