Menyambut Pilkada di KDT

Oleh : Bachtiar Sitanggang
Administrator Administrator
Menyambut Pilkada di KDT

UNGKAPAN politisi PPP Romahurmuziy dalam tayangan di MetroTV, Kamis, 15 Februari 2024, ada yang sungguh perlu direnungkan, tapi tidak perlu dibahas, dikomentari apalagi dibantah, tetapi perlu direnungkan.

Romahurmuzy mengatakan, "Kalau yang dapat sentuhan bansos, saya selalu katakan begini 'yang namanya anggaran 492 triliun, monyet aja dibekalin, itu jadi presiden, apalagi manusia".

Ia menjawab pertanyaan pewawancara MetroTV menanggapi hasil Pilpres sehari sebelumnya yaitu 14 Februari 2024, yang bicara soal kemenangan pasangan calon nomor urut 3 Ganjar-Mahfud yang menang di sejumlah Pemilu di luar negeri, seperti Amerika Serikat, London Inggris, Perancis. Dia berkesimpulan, "Kalau yang enggak dapat sentuhan bansos itu murni hasilnya," tambahnya.

Sebagaimana disebutkan di atas, tidak perlu dibahas, dikomentari apalai dibantah, juga tidak perlu dinilai tidak etik dengan membandingkan dengan monyet, tetapi ungkapan itu mungkin, sekali lagi mungkin bisa kita bercermin dari keadaan itu dengan kondisi sekarang di Kawasan Danau Toba menjelang Pilkada bulan September yang akan datang.

Sebab bercermin dari Pemilu 14 Februari lalu, kira-kira ada empat yang perlu diperhatikan. Pertama, etika dan moral; kedua: kemiskinan; ketiga, kemampuan finansial dan keempat, popularitas.

Dengan menerabas etika dan moral serta mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan mungkin lebih mudah meraih suara,

Memberikan jagung ke ayam akan lebih mudah menangkapnya, artinya bantuan sandang pangan kepada orang-orang papa akan dianggap sebagai berkat dari yang Maha Pengasih dan sang baik yang menyerahkan itu pasti dituruti. Terserah kalau ada yang menafsirkan mengeksploitasi kemiskinan.

Tentang kemampuan finansial, teringat kurang lebih 15 tahun lalu di Samosir ada istilah, “selama ayam makan jagung, kita pasti menang”. Siapa punya duit atau togu-togu ro (TTR) dia yang menang, kita bandingkan juga antara Vandiko Timotius Gultom dengan Rapidin Simbolon yang mengantarkan TTR itu panggung nasional melalui Mahkamah Konstitusi.

Tetapi yang paling fenomenal adalah popularitas sang tokoh, dan mungkin dapat dikatakan satu-satunya di Indonesia sebagai “berkat Tuhan” apa yang diperoleh Alfiansyah Komeng alias Komeng, comedian atau pelawak ini dapat suara 5,3 juta suara untuk duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) mewakili Daerah Jawa Barat.

Komeng tidak “karbitan”, tidak ditolong Paman dan Ayah, tidak pake sembako apalagi Bansos dan pemberian-pemberian lainnya. Semua prosedur admistratif dilaluinya tidak ada pelanggaran Etik berat oleh MK maupun KPU, serta tidak ada yang mengklaim pengglembungan suaranya.

Menyangkut moral pemilih menurut banyak pengamat sudah agak diragukan saat ini dalam hal pilih memilih pemimpin, tidak hanya yang berkaitan dengan pemerintahan mungkin juga di luar pemerintahan.

Khusus di Kawasan Danau Toba yang diikat Dalihan Na Tolu (DNT), yaitu ikatan kekerabatan yang paling kuat di dunia, “somba marhula-hula, elek marboru jala manat mardongan tubu”.

Tapi menurut sebagian orang tertentu bahwa ikatan kekerabatan DNT itu sekarang masih utuh tetapi hanya dalam acara Adat saja, sedang di pemungutan suara tidak berperan lagi apalagi berkaitan dengan partai politik sebab saat ini di Indonesia ada 18 partai, yang seolah telah mencerai beraikan ikatan kekerabatan DNT.

Kembali ke KDT menjelang Pilkada September yang akan datang, apakah akan terkait dengan keempat dugaan di atas? Apakah akan seperti 5 tahun lalu yang hasil pekerjaan mereka-mereka yang terpilih itu lebih baik atau jalan di tempat atau bahkan sebaliknya?

Tentu banyak variabelnya untuk menjadi calon bupati dan wakil bupati, terutama kemampuan intelektual, finansial dan dukungan partai yang sering disebut perahu. Kalau masalah ideologi dan integritas tidak bisa dilihat dari sekarang, setelah bekerjalah baru ketahuan “emas atau loyang”, seperti para pejabat sekarang.

Dengan berbagai kriteria dan lolos persyaratan administrasi, maka mungkin yang paling seru kalau sudah pemungutan suara, apa ada yang tidak pake TTR dan “serangan fajar”? Itu tergantung berapa pasangan calon (paslon) yang tampil, satu berhadapan dengan kotak kosong? Mungkin lebih murah, tinggal “merayu partai-partai untuk tidak merekomendasikan calon lain”, tinggal menabur “kebaikan”.

Kalau dua atau tiga paslon akan semakin ramai, akan terjadi adu kekuatan dana dan daya, seperti main panco, siapa banyak uang dia yang menang? Apakah itu yang akan terjadi?

Mari kita lihat, apakah para paslon itu yang telah menangguk keuntungan di daerah lain dan membawanya ke KDT untuk memperoleh singgasana kepemimpinan? Sebab menurut seorang tokoh yang mengetahui “keberadaan” para paslon masa lalu adalah mereka-mereka yang punya kemampuan finansial tapi minim kemampuan kepamongprajaan dan ketata pemerintahan.

Oleh karena itu sang nara sumber tersebut tidak heran kalau Pembangunan di beberapa daerah jauh dari harapan. Selain minim pengalaman kepamongprajaan dan tata pemerintahan, sang pemenang tidak tahu mau berbuat apa sebab dia dibesarkan di daerah yang berbeda anatomi dan karakter daerah.

Kalau sekarang di negara ini ada keinginan agar Jaksa Agung jangan dari partai politik, maka untuk bupati di KDT juga jangan dari politisi apalagi dari bisnisman, sebab akan menomor belakangkan kesejahteraan rakyat, dan mungkin sekali berprinsip “Iyokan nan di urang, laluan nan di awak”.

Kembali kepada kesadaran Masyarakat baik pemilih maupun paslon yang akan bertarung, terutama para tokoh Masyarakat mari menggunakan hati nurani dan merenungkan ungkapan Romahurmuzy di atas.

Hendaknya semua hati-hati menggunakan berkat Tuhan yang dimiliki masing-masing. ***

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Komentar
Berita Terkini