Kebakaran Lahan, Pantaskah Kita Marah?

Oleh : Bachtiar Sitanggang
Administrator Administrator
Kebakaran Lahan, Pantaskah Kita Marah?
IST|Pelita Batak

BAGAIKAN mendengar siaran ulangan berpuluh tahun sebenarnya, membaca berita terbakarnya puluhan bahkan ratusan hektar lahan di lereng pegunungan di Kawasan Danau Toba, begitu juga berita harian Kompas, (Selasa 31/5 hal. 11) kemarin.

Dengan judul “Kawasan Strategis Nasional, Puluhan Hektar Lahan di Lereng Toba Terbakar”, â€" Sedikitnya 30 hektar lahan di lereng Danau Toba, tepatnya di Desa Turpuk Malau, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, terbakar, Senin (30/5/2022). Total diperkirakan lebih dari 60 hektar lahan terbakar di lereng Toba selama bulan Mei ini.

Jelas bahwa upaya pemadaman atas kebakaran di lereng gunung di pinggiran Danau Toba, tidak mungkin dilakukan sejak dulu sampai sekarang, mengingat kemiringan lahan yang terjal serta angin yang kencang serta sumber air yang sulit serta tenaga manusia maupun peralatan tidak mampu untuk menjangkau atau melokalisir api dari lahan.

Apalagi hanya dengan kekuatan Satpol PP atau apapun, termasuk helikopter apalagi pesawat bersayap tetap, tidak mungkin melintasi lereng-lereng yang kadang sempit.

Persoalannya, pantaskah kita marah, dan kepada siapa kita marah? Dan kalau ketahuan orang yang membakar lahan itu apakah kita tega menghukumnya? Mungkin dengan mengurai pasal-pasal peraturan perundang-undangan, si oknum yang karena perbuatannya terbakar ilalang atau semak di lereng Toba itu pantaskah dihukum?

Menurut hukum, setiap perbuatan yang merugikan sebut saja “kepentingan umum, karena terbakarnya kawasan pariwisata destinasi unggulan nasional”, dengan ketentuan pidana yang selalu ketentuannya “Barang siapa ......... dan seterusnya”, bisa saja diterapkan.

Tetapi itu tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan menambah masalah baru, sebab pemerintah dan negara berbuat tidak adil kepada warganya dan seterusnya.

Kalau begitu, bagaimana agar Kawasan Danau Toba tidak menjadi “tontonan indah” setiap tahunnya dengan terbakarnya lereng-lereng terjal di pinggiran Danau Toba? Perlu diingat, bahwa kebakaran seperti yang terjadi di Turpuk Malau, Limbong, dan Sianjurmula-mula, bukan barang baru, itu sudah berlangsung puluhan tahun lalu. Kalaupun sekarang menjadi viral dan menjadi berita nasional, karena ada yang peduli, berkaitan dengan diajukannya Kawasan Danau Toba sebagai Geopark Global UNESCO, Kaldera/Geopark Toba sebagai warisan dunia, dan oleh Pemerintah Indonesia dijadikan sebagai kawasan tujuan wisata unggulan, dengan membentuk badan pengelola dan segala perangkatnya bagaikan batalyon jumlahnya.

Namun, kelihatannya semua hampir sama, ada dan tidak ada penetapan UNESCO tersebut, demikian juga Tim Geopark Toba serta Peraturan Presiden yang mengatur pengelolaan kaldera Toba tersebut, bahkan dengan adanya Badan Pengelola Otorita Danau Toba, belum berbuat apa-apa untuk menanggulangi kebakaran dari sejak terbentuk sampai sekarang.

Dengan demikian, kalau kita marah dengan terbakarnya lahan di lereng Toba tersebut sampai 60-an hektar bulan Mei dan kebakaran-kebakaran selanjutnya, silahkan marahlah kita kepada mereka-mereka yang telah dilantik dan ditunjuk untuk itu, dan tidak pada tempatnya kita hanya menyalahkan rakyat, walaupun rakyat yang membakar itu sengaja atau tidak tetap salah.

Untuk itu barangkali semua harus mengoreksi diri, siapa-siapa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan Keputusan Gubernur dan Peraturan Presiden untuk menjaga kelestarian Lingkungan serta merawat kawasan tujuan wisata, yang mungkin hanya memperoleh manfaat serta kehormatan dengan kedudukan dan jabatan.

Masyarakat di sekitar Danau Toba adalah peternak sapi dan kerbau, di beberapa tempat ada yang memelihara ternak dengan melepasnya di kaki-kaki/lereng gunung setiap pagi dan mencari rumput di semak-semak berbatuan.

Tiga atau empat tahun rumput-rumput itu menjadi tua sementara semak-semak makin besar, lahan hewan makin menyusut. Sang petani ternak memperhatikan itu, kemungkinan saja dia berpikir bagaimana meremajakan rumput itu lalu dia membakarnya. Apakah dia salah? Mari kita menilai bersama.

Yang ingin kita katakan, dengan menetepkan Danau Toba dan sekitarnya menjadi tujuan wisata nasional, serta perlunya pelestarian lingkungan adalah suatu keharusan. Akan tetapi apakah cukup hanya penetapan saja tanpa mempersiapkan masyarakat, mendidik dan mengalihkan kebiasaan “negatif” ke arah yang lebih baik dan benar?

Perlu diingat, bukan eranya lagi, “rakyat untuk pembangunan” ala Orde Baru. Lereng-lereng Gunung pinggiran Danau Toba termasuk dalam tujuh Kabupaten yaitu, Samosir, Toba, Simalungun, Karo, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan Dairi, sekarang kebakaran lereng itu ada di Samosir.

Kalau Wilmar Simanjorang “berteriak” tentang kebakaran lereng di Toba itu, di mana dan ke mana yang lain? Di mana DPRD dan BPODT serta instansi-instansi yang berwenang melestarikan lingkungan.

Bagaimana agar bulan Juni dan seterusnya di musim kering tidak ada lagi “tontonan indah” kebakaran di lereng-lereng gunung pinggiran Danau Toba, maka perlu dengan segera diadakan penyuluhan kepada masyakarat sekaligus upaya jangka panjang untuk mencegah pembakaran ilalang untuk ternak maupun untuk membuka lahan pertanian.

Sebelum PRRI di pegunungan Pulau Samosir dan Tentara Pusat di pinggiran pantai, seingat saya, sejauh 30 meter dari hutan pinus ditanami pohon “makadamai” tanaman pembunuh ilalang, untuk menghindari kebakaran.

Di musim kemarau ada penjaga hutan yang disebut “Setteng”. Mereka menjaga di pinggiran hutan, dan setiap orang yang akan melintasi hutan dicatat identitasnya dan tidak diperbolehkan membawa korek pai. Dan setiap tiga bulan sebelum musim kering, dilakukan pembersihan dengan membatan rumput seluas 30 meter dari pinggiran hutan.

Dan itu berlangsung secara rutin, dan di tempat-tempat tinggi dan strategis ada bangunan menara yang bisa memantau kawasan hutan dengan menempatkan petugas dilengkapi kentongan kayu besar. Kalau kentongan dibunyikan bertalu-talu artinya ada kebakaran, dan seluruh anggota masyarakat yang mampu datang untuk memadamkannya.

Itu sekitar tahun 1950-an, apakah itu warisan Kolonial atau tidak, saya tidak tahu, setelah PRRI hutan di Samosir berantakan dengan banyaknya kebakaran-kebakaran pinus dan petugas Kehutanan juga hampir tidak berwibawa.

Malahan pengelola hutan Samosir, berada di Dolok Sanggul Humbang Hasundutan, lalu mau mengeluh kepada siapa?

Kelihatannya, masyarakat terutama para elit getol untuk mengusulkan/mendirikan satu Kabupaten atau Provinsi tetapi tidak siap untuk mengisinya. Sama seperti Samosir, sampai sekarang Lembaga Pemasyarakat masih di tengah pemukiman di kota Pangururan, Pembuangan Sampah juga belum ada bahkan masih berserakan padahal sudah 18 tahun berdiri. Pengadilan Negeri masih ke Balige.

Mungkin juga perlu hal-hal kecil itu diperhatikan para “pemimpin” tidak asal, asal usul, asal marah dan asal tuding, apalagi saling menyalahkan.

Mudah-mudahan para pengambil keputusan sadar akan sumpah jabatannya, tidak asal menjabat dan memproleh manfaat, sementara terjadi yang tidak diinginkan menyalahkan pihak lain. Semoga tidak demikian, Salam Kasih. ***

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Komentar
Berita Terkini