KITA sebagai Bangsa Indonesia terguncang akibat terbunuhnya seorang anggota Kepolisian, yang direncanakan oleh atasannya, yang setiap harinya dilayani, Brigadir Polisi Noviansah Josua Hutabarat. Kematian Josua pasti memilukan semua orang sebagaimana perasaan ibu, ayah, adik dan kerabat lainnya yang pernah mengalami kehilangan saudara seperti halnya keluarga Samuel Hutabarat sebagai ayah dan Rosti Simanjuntak sebagai seorang ibu.
Sejak kematiannya 8 Juli sampai pengumuman tanggal 11 Juli sampai sekarang, masih tetap mendominasi pembicaraan di masyarakat maupun media apalagi media sosial. Satu yang tidak bisa dicegah, sebab hampir setiap hari berbagai tindakan penananganan kasus tersebut selalu menimbulkan pertanyaan baru, karena selalu berubah tidak ada konsistensi sikap termasuk dalam penerapan hukum dan perlakuan kadang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya oleh pengambil keputusan dan penyidik di lapangan, termasuk juga lembaga di luar institusi Kepolisian seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak termasuk Kompolnas yang sering bagaikan nyiur melambai, sulit menunjukkan integritas bahkan seolah para komisionernya tidak punya nurani sebab kadang hanya memperhatikan kepentingan pelaku dan bahkan memihak dan abaikan perasaan publik apalagi keluarga korban.
Karenanya sulit untuk menjawb pertanyaan, Komnas-komnas itu untuk kepentingan siapa sebenarnya, korban atau pelaku, sebab sering keterangannya tidak apa adanya tapi seolah ada apanya.
Kasus pembunuhan bukanlah barang baru dalam sejarah dunia, sebab ketika masih empat orang penghuni jagad raya ini yaitu Adam, Hawa dan dua naknya Kain dan Habel, kekejaman itu sudah terjadi, di mana Kain membunuh adiknya Habel dengan motivasi karena iri, akibat kurban persembahan Habel berkenan kepada Allah sementara kurban persembahan Kain tidak. Jelas motivasi kejahatan itu karena iri hati.
Kain juga tidak mengakui perbuatannya itu, ketika dia ditanya Allah: “dimana Habel adikmu?â€, jawabnya: “Apakah aku penjaga adikku?†Firman Allah “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari dalam tanahâ€.
Kain mengira tidak ada orang yang mengetahui perbuatannya itu, tetapi “darah Kain†berteriak dari dalam tanah ke sang Pencipta. Mungkin sebagai manusia, jenderal polisi bintang dua dengan kekuasaan dan kemampuan dalam segala hal secara duniawi, apa yang dialami Brigadir J dapat ditutupi, ternyata Tuhan telah menyediakan sarana untuk mengungkap kejahatan-kejahatan itu.
Yaitu “kasih seorang Ibu†yang mengandung selama sembilan bulan serta menyusui dan membesarkan sang anak buah rahimnya wafat, ingin menyaksikan jenazah putranya. Kasih yang berasal dari Allah itulah yang membuka tabir kejahatan sang jenderal bersama isterinya.
Terlepas terungkap atau tidak motif pembunuhan itu terserah penyidiklah sebagai “penentu kejadian dan perkara†(dominus litis) ke pengadilan dan kemamuan hakim menggali keterangan saksi dan bukti, bahwa pembunuhan itu kalau ditelusuri “terencana dengan rapi†oleh karenanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi termasuk tempat dan peralatan, maka tindakan itu dilakukan di rumah dinas. Dengan segala kemampuan dan keberadaan, dengan alasan pengancaman dan pelecehan yang berakibat tembak-menembak, terbunuhnya Brigadir J oleh peluru Bharada Richard Elieser Pudihang Lumiu adalah karena membela diri.
Ada dugaan, karena perencanaannya sudah matanglah sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut, maka eksekusi dilaksanakan di Duren Tiga, artinya di atas kertas semua bisa diatasi dan dikendalikan, dan memang benar.
Dengan pengumuman tanggal 11 Juli yang telah di-skenario-kan ini berbagai pihak terperdaya termasuk Kompolnas dan beberapa Advokat dan bahkan ada yang mengatakan bahwa Bharada E adalah pahlawan, kalau tidak semua orang yang ada di dalam rumah itu akan dihabisi Brigadir J.
Berbagai spekulasi muncul dan yang jelas “Kasih Ibu†yang ingin menyaksikan jenazah buah hatinya, meluluh-lantakkan kelicikan si “Kain masa kiniâ€, kebohongan sang pembunuh itu terungkap bagai air mengalir dengan berbagai komunitas termasuk Pemerintah tersentak, dan berniat keras untuk mengungkap sejelas-jelasnya kasus tersebut dan jangan ada yang ditutup-tutupi dan jangan segan-segan. Namun di dalam perjalanannya, walaupun Polri sendiri melalui Tim khusus yang dibentuk Kaolri Listyo Sigit Prabowo telah mengumumkan tidak ada tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E serta tidak ada pelecehan sesksual antara Brigadir J dengan Putri Candrawaty, isteri sang jenderal namun Komnas di lokasi pembunuhan, namun Komnas HAM dan Komnas Perempuan kelihatannya masih “terbius†oleh keterangan Putri Candrawaty yang ingin mengakhiri hidupnya karena malu akibat pelecehan di Magelang tanggal 7 Juli.
Kalau Kain membunuh adiknya Habel jelas motivasinya karena irihati, bagaimana dengan Ferdy Sambo yang merencanakan menghabisi nyawa Josua? apakah hanya kalap karena mempertahankan harkat dan martabat keluarga? Apakah harus seperti itu seorag jenderal terhadap anak-buahnya? Sulit menjawabnya, sama seperti kejadian Hain dan Habel.
Masalah pelecehan, antara siapa dengan siapa? Kejadian seperti itu juga sudah ada sejak jaman dshulu, pelecehan sesksual atau ingin dilecehkan.
Seperti halnya Jusuf, orang Ibrani yang dijual abang-abangnya ke Mesir yang kemudian menjadi orang kepercayaan Potiphar, penguasa negeri itu. Jusuf si anak muda yang “manis sikapnya dan elok parasnya†putra Yacub penguasa di rumah Potiphar, dan sang isteri (tidak disebut namanya) memanang Yusuf dengan birahi, lalu katanya “Marilah tidur dengan akuâ€, tetapi Yusuf menolaknya. Lalu sang nyonya marah dan menarik pakaian Yusuf, lalu melaporkannya kepada suaminya Potiphar, lalu menghukum Yusuf.
Potiphar juga mempertahankan harkat dan martabat serta harga dii keluarga, tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya, oleh karenanya bertindak walaupun motivasi tindakan itu justru sekedar menutupi moral isterinya yang nyata-nyata menurut sejarah Alkibat adalah kebalikannya, justru isterinyalah yang merendahkan harga dirinya serta merusak harkat dan martabat keluarganya.
Proses penegakan hukum atas wafatnya Noviansyah Josua Hutabarat yang sudah Sarjana Hukum setelah kepergiannya, masih berlangsung dan tidak tahu ujungnya. Bercermin dari kejadian “tragedi Duren Tiga†tersebut hendaknya semua kembali kepada aturan, etika dan moral yang didasar kasih dan takut akan Tuhan. Apabila semua yang berkepentingan bekerja dan melakukan tugas, fungsi dan kewajibannya sesuai dengan aturan, guncangan hukum dan luka batin bangsa ini akan pulih dan kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri akan kembali, kepercayaan kepada Kejaksaan serta penghargaan dan penghormatan kepada lembaga peradilan akan terbangun kembali. Mungkin juga para advokat untuk kembali menggunakan hati nuraninya sesuai Kode Etik Advokat Indonesia serta mengoreksi dri baik perorangan maupun organisasi, sebab selama proses penanganan kasus Brigadir J, ada juga Advokat yang mempertontonkan dirinya baik sebagai kuasa hukum apalagi sebagai tokoh kadang tidak fokus sama seperti Komisi-komisi yang disebut di atas. Dalam kemelut yang sedang berlangsung, adalah lebih bijaksana kalau memberi jalan keluar tidak justru menambah kerumitan, apalagi melukai hati keluarga korban. Semua yang terlibat dalam penyelesaian kasus “tragedi Duren Tiga†perlu menghayati uangkapan “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanahâ€. ***
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.