Dalihan Na Tolu Dan Ketata Negaraan

Oleh : Bachtiar Sitanggang
Administrator Administrator
Dalihan Na Tolu Dan Ketata Negaraan

BELAKANGAN sebagian komunitas Batak mungkin terlebih Toba, sangat intens membicarakan imbas gemuruh perpolitikan nasional menyangkut agenda ketata negaraan, khususnya Pemilu dan masa jabatan Presiden.

Sebenarnya tidak hanya orang Batak yang membahas adanya wacana penundaan Pemilu dan atau masa jabatan Presiden tiga periode. Bahkan mahasiswa sampai demo tanggal 11 April lalu untuk menyuarakan ketidak setujuannya atas penundaan Pemilihan Presiden atau memperpanjang masa jabatan Presiden dan segala macam wacana tersebut termasuk melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.

Tidak jelas konsep penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode tersebut, sebab hampir belum ada tertranskrip usul tersebut, kalau diwacanakan kelihatannya pernah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengumandangkan wacana tersebut.

Lalu, Menko Marinvest Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan bahwa ada 100 jutaan masyarakat yang menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo berdasarkan big data yang ada di media sosial. Sampai di situ perdebatan masih wajar dan konstruktif, termasuk para korektor Pemerintah yang sering mengeritik Pemerintah dan atau pejabat.

Yang menyulut ketersinggungan orang Batak adalah tudingan berbagai hal yang menurut Orang Batak tidak pantas ditujukan kepada seorang orang tua seperti Luhut Binsar Pandjaitan oleh seorang orang Batak yang lebih muda usia.

Tetapi persoalan yang menyebabkan tudingan dan segala “sumpah serapah” itu berada di luar koridor Dalihan Na Tolu yaitu “Somba marHula-hula, Manat marDongan Tubu, Elek marBoru”. Peradaban Dalihan Na Tolu ini merupakan struktur kekerabatan par"haha-maranggi"-on, par"hula-hula"-par"boru"on.

Pemicunya bukan dalam kaitan partuturon (kekerabatan) melainkan masalah penafsiran ketata-negaraan, itu juga masih belum terbukti sampai seberapa jauh peranan Luhut Binsar Pandjaitan, dan apakah dia sebagai Menkomarinvest atau sebagai politisi Partai Golkar?

Sebagai partai koalisi yang mendukung Pemerintahan tidak perlu dicampuri siapa-siapa, apalagi komunitas Batak, sebab sesama partai koalisi pasti memiliki mekanisme menyelesaikan masalah kenegaraan. Kalau ada yang “nyelonong” menyuarakan agar Luhut Binsar Pandjaitan mundur sebagai Menkomarinvest biarlah mekanisme parkoalisian mereka yang mengatasi.

Sesuai dengan konstitusi yang mengangkat dan memberhentikan menteri adalah hak prerogatif Presiden, artinya belum jelas itu suara perorangan atau partai, dan tentu tidak semudah itu “memaksa” Presiden menggunakan hak prerogatifnya.

Tokoh seperti Luhut Binsar Pandjaitan barangkali tidak pusing dengan segala komentar dari siapapun, jangan-jangan dia berdoa ”ya Tuhan, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”.

Jenderal Luhut sudah 50 tahun lalu bersumpah jiwa dan raganya untuk NKRI, sekarang menteri di banding di medan tempur, tidak ada apa-apanya yang menjadi ancaman, artinya orang yang mengenal beliau sudah berpikir tujuh kali kalau menunjukkan “kehebatan” kepada Jenderal Kopassus baret merah, Luhut Pandjaitan.

Dalam kaitan itu, beliau tidak perlu dibela-bela, apalagi dari komunitas Batak, sebab tidak ada kaitannya dengan Dalihan Na Tolu, kampung maupun marga.

Mereka-mereka yang ber”seteru” itu bukan dalam rangkaian Adat Batak, sehingga tidak ada ruang bagi komunitas mencampuri hal tersebut, dan sudah waktunya orang Batak memisahkan partai politik dari Dalihan Na Tolu.

Kita perlu melihat para tokoh nasional, seorang kakak pimpinan partai, tidak selalu diikuti adek-adeknya. Orang Batak juga jangan membawa kepentingan partai ke dalam kekeluargaan, kalau tidak par”haha-maranggi”on akan rusak, apalagi dengan sistem kepartaian Indonesia saat ini yang jumlahnya puluhan.

Mungkin para orangtua merasa tersinggung, sebab temannya sebagai orangtua tidak dihormati yang lebih muda, itu benar. Tetapi mungkin juga ada kepentingan lain. Saya teringat, cerita Gus Dur waktu itu Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, sambil tertawa menikmati nasi padang di LBH Jakarta seusai ceramah, beliau mengatakan, anak buahnya melapor kepadanya akan menyerang Gus Dur, alasannya agar anak buahnya semakin terkenal.

Yah namanya politik, hanya Sabam Sirait yang menyebut “politik itu suci” dan dia benar-benar melakukan itu, sebab dia berani mengatakan ya di atas ya, buruh dia bela, penggusuran dia bela dan dia suarakan istilah “ganti untung”, bagaimana politisi lain, mari kita saksikan sama-sama.

Orang Batak juga tidak perlu kecewa, karena yang “menyerang” Jenderal Luhut orang Batak juga, di komunitas lain juga tidak sulit ditemukan seperti itu, contoh di Jawa Tengah, di NTT, tapi karena kita ber-Marga jadi jelas kelihatan. Tapi itu semua tidak ada kaitannya dengan Dalihan Na Tolu. Dalihan Natolu berlaku untuk peradaban atau budaya kekeluargaan Batak khususnya Batak Toba, sedangkan politik yang dibicarakan di atas itu sifatnya nasional.

Barangkali tugas utama orangtua Batak adalah menanamkan etika dan moral kepada generasi muda, sebab di manapun berlaku “anda sopan, kami hormat”, artinya kalau seseorang tidak sopan, khalayak akan menilai.

Salam Paskah.***

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Komentar
Berita Terkini