Bicara Kode Etik Bagaikan Bicara Setengah Surga

Oleh : Bachtiar Sitanggang
Administrator Administrator
Bicara Kode Etik Bagaikan Bicara Setengah Surga
Ist|PelitaBatak
Bactiar Sitanggang

KETIKA Bung Daud Breueh (Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Advokat Indonesia Rumah Bersama Advokat (PERADI RBA) memberitahukan rencana Forum Group Diskusi hari ini Jumat (20/9) via zoom tentang Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dihubungkan dengan Kode Etik Profesi Advokat Indonesia, saya sebenarnya bingung juga, apakah masih ada etika itu di bangsa ini, atau paling tidak apa dan bagaimana serta apa-nya yang akan didiskusikan?

Saya merasa beruntung menemukan di YouTube acara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di mana ada keterangan Prof. Jimly Assidiqqi, menerangkan bahwa sekarang ini hampir semua Lembaga bermasalah, organisasi massa dan Partai Politik, termasuk organisasi profesi sepert Peradi dan IDI.

Dengan mengutip pertimbangan TAP MPR tersebut huruf c, menyatakan: “bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan krisis multidimensi”.

Dan Prof Jimly (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi-MK) itu, menyebutkan Ketua MK yang diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK karena melanggar etika berat, malah menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), menang pula.

Di mana logikanya itu? Tambah Prof. Jimly, dimana ia sendiri Ketua MKMK.

Baru terbuka pikiran saya, ditambah lagi keterangan ahli tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Dr. Feri Amsari di acara ILC, menyatakan “etika itu penting apalagi bagi orang yang akan memimpin bangsa, penegakan etika perlu sebab seorang pemimpin tidak sama dengan masyarakat biasa. Jadi mengkritisi etika pemimpin bukan karena kebencian tetapi keharusan, sebab memimpin ratusan juta masyarakat” katanya dengan memberi contoh-contoh.

Pikiran saya semakin terbuka, terutama saran Prof. Jimly ke BPIP agar mendorong Pemerintahan baru untuk segera membentuk Undang Undang Etika Kehidupan Berbangsa serta melengkapi Mahkamah Etika Nasional sebagai sarana pelaksana dari TAP MPR No. VI/2001 tersebut.

Kalau secara nasional terjadi krisis multi dimensi akibat dari kemunduran etika kehidupan berbangsa, sekarang boleh kita tanya diri kita masing-masing apakah kita menghayati dan mengamalkan KEAI dalam menjalankan profesi sebagai advokat, demikian juga profesi lainnya.

Sebagai anggota dan Ketua Dewan Kehormatan Daerah DKD) baik sewaktu PERADI masih utuh dan sekarang di PERADI RBA, sungguh memalukan serta risi membaca pengaduan-pengaduan dugaan pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) oleh advokat.

Untuk meminimaliser pelanggaran-pelanggaran KEAI itu secara nasional mungkin perlu adanya Dewan Kehormatan Advokat Nasional (DAN), dan kalau dimungkinkan adanya audit dari berbagai Organisasi Advokat, apakah layak dan memenuhi syarat dan tentu harus ada standarisasi. Kalau bisa jangan menunggu adanya wadah tunggal (single bar), walau menurut saya masih jauh dan mungkin sulit, karena faktor manusianya.

Mengutip Prof. Jimly, bahwa dalam pelaksanaan KEAI ikut juga Mahakamah Agung Kejaksaan Agung dan Kepolisian (maaf, kalau tidak salah dengar) turut melanggar hukum. Mengapa, menurut saya masuk akal juga, karena Advokat itu sesuai ketentuan UU adalah sebagai penegak hukum, tetapi dibiarkan saja seperti sekarang.

Jadi menurut saya berbicara Kode Etik seolah berbicara setengah surga. Oleh karenanya saya sering risi kalau ditugaskan membawa materi KEAI di PKPA berbagai Perguruan Tinggi hukum, di mana Kode Etik Profesi Advokat itu begitu mulia sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi namun tidak tercermin dari keseharian para Advokat.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa masih perlu pemahaman ulang Kode Etik Advokat Indonesia bagi para advokat sebagai program jangka pendek Organisasi Advokat.

Selain itu perlu mengaktifkan Komisi Pengawas untuk dan harus pro-aktif mengikuti keseharian para anggotanya, dan harus berani menegor apabila ada yang menimbulkan permasalahan dan jangan sampai kegaduhan.

Tantangan bagi Advokat akan semakin berat apabila masyarakat tahu/sadar KEAI Pasal 11 (1) yang menentukan “Pengaduan dapat diajukan oleh pihak berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:

a. Klien

b. Teman sejawat Advokat

c. Pejabat Pemerintah

d. Anggota Masyarakat

e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi di mana teradu menjadi anggota.

Sampai sekarang yang mengadu baru a dan b, selainnya belum. Advokat yang menyambit hakim dengan ikat pinggang, tidak ada yang membawa ke DK, demikian juga advokat yang menghamburkan uang di depan kantor polisi, kalau tidak salah selesai dengan meterai Rp. 10.000,-

Agar benar-benar profesi advokat itu officiun nobile, ya para advokat dan organisasi terutama pimpinannya haruslah menunjukkan dirinya terhormat, dan sebagai penegak hukum menurut hemat saya tidak hanya statusnya penegak hukum tetapi juga ilmu dan wawasannya harus mampu setara dengan Penegak Hukum lain.

Perlu diingat Pasal 28 (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat: “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan Undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.”

Kembali pada situasi dan kondisi nasional, advokat dan organisasinya sebagai profesi terhormat, harus memelopori mengatasi etika kehidupan berbangsa yang mengalami kemuduran itu serta mengatasi krisis multi dimensi, tidak sebaliknya.***

Wartawan senior dan advokat domisili di Jakarta.

Komentar
Berita Terkini