Ber-Opini itu Hak Asasi Manusia

Oleh : Bachtiar Sitanggang
Administrator Administrator
Ber-Opini itu Hak Asasi Manusia
IST|Pelita Batak

DUA HARI lalu saya dikirimi tulisan via WhatApp, penulisnya Gurgur Manurung berjudul “Beropini di ruang Publik dan Kompetensi Kepsek Membangun Pendidikan” dimuat di Kompasiana, media bergengsi wadah opini para penulis berkwalitas terjamin.

Substansi tulisan itu terlalu teknis opersional, karenanya biarlah yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang mengurusinya, termasuk kritik dan komentar serta keseluruhan opini yang terkandung di dalamnya.

Tanda tanya bagi saya dalam tulisan tersebut adalah kalimat: Dalam diskusi di WA group ada seseorang yang berkata, “saya ingatkan agar jangan beropini”. Memang tidak jelas disebutkan diskusi itu sampai muncul “peringatan” jangan beropini, juga siapa yang “mengingatkan” agar jangan beropini, serta bagaimana hubungan yang diingatkan dan yang mengingatkan perbedaan status seperti wartawan dengan pejabat yang “memiliki kekuasaan”.

Apakah “peringatan” agar tidak salah atau ancaman karena tidak benar atau sebaliknya agar “yang busuk” tidak terungkap, atau bahkan ada kepentingan yang terusik dengan opini dimaksud?

Apapun yang tersirat dalam kata-kata “saya ingatkan agar jangan beropini” tersebut, adalah urusan Gurgur dan teman komunikasinya, tetapi perlu disadari bersama bahwa beropini itu adalah hak azasi manusia.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Serta Pasal 28E (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.**)

Dengan kata lain, sepanjang tidak melanggar undang-undang adalah bebas beropini atau mengeluarkan pendapat. Kalau ada yang bertentangan dengan Undang-undang ada proses hukum untuk menyelesaikannya, tidak perlu diingatkan seperti apa yang dialami Gurgur Manurung.

Apakah Gurgur merasa “peringatan” itu sebagai ancaman sehingga perlu dikemukakan ke publik. Opini yang tidak mengandung kebenaran tentu perlu diluruskan oleh yang berkepentingan, tetapi biasanya opini yang dibencii adalah yang mengemukakan yang benar. Kalau tidak benar silahkan dibantah sesuai dengan fakta, jalur untuk itu cukup tersedia sesuai undang-undang. Tidak perlu dengan cara-cara “ngotot-ngototan” apalagi gaya otoriter.

Perlu diingat, bunyi UUD NRI tahun 1945 Pasal 27 (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Setiap warga negara sama kedudukannya dan diharuskan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan, dengan kata lain tidak ada beda anggota DPR dan Menteri dengan rakyat biasa yang membedakan adalah tanggung jawabnya untuk berjalannya pemerintahan yang baik dan benar, karena mereka ditunjuk untuk itu.

Karenanya, sesuai dengan aturan perundang-undangan setiap warga negara wajib mengingatkan pejabat Negara dan pemerintahan kalau ada yang tidak sesuai, dan bagian itulah opini. Oleh karenanya tidak perlu marah terhadap opini, yang perlu dikoreksi apa benar atau tidak, jujur atau tidak. Para pejabat itu adalah yang periodik dipilih rakyat sebagai pelaksana pemerintahan, opini harus dianggap sebagai bagian dari rambu-rambu jalan raya.

Oleh karenanya tidak perlu risi atau resah dengan opini publik, teladanilah Presiden RI Joko Widodo, justru membutuhkan informasi dari masyarakat, sehingga dibangun jalan di tanah Karo.

Bagaimana Raja Daud mengikuti peringatan Nabi Natan, dan dia bertobat untuk kebaikannya sendiri?

Pengkritik dan yang beropini perlu meneladani kedua tokoh sejarah dunia dan Alkitab di atas. Kesadaran kita terhadap kebebasan pers memang masih rendah, masih terjadi pembunuhan dan penganiayaan terhadap wartawan, “pemaksaan” terhadap penulis untuk mencabut atau menghilangkan tulisannya dari ruang publik. Suatu hal yang masih menakutkan dalam memperbaiki kehidupan publik, apabila kebebasan dibungkam oleh otoriterisme.

Mengekang atau membungkam pers itu jelas-jelas melanggar hak asasi manusia, dan kalau ada yang merasa dirugikan akibat berita, ulasan, tulisan atau opini ada hak jawab sesuai hukum, dengan budaya timur musyawarah adalah jalan terbaik “damai itu indah”. Ada hak jawab, bila tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Kepada para pemilik kekuasaan pemerintahan, kapital dan kekuatan massa supaya meningat Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.** Kepada pegiat pers juga harus menjalankan kebebasannya itu secara bertanggung jawab, sebab kebebasan tanpa batas, akan menabrak hak asasi orang lain juga sebagaimana bunyi (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.** )

Akhir-akhir ini ada kekhawatiran tentang kebebasan pers apalgi dengan media on line dengan pengawasan yang sangat lemah dan pemahaman atas Kode Etik Jurnalistik serta pengawasan dari Redaktur dan pengawas.

Dalam menjalankan kehidupan yang damai berkeadilan adalah mudah sepanjang semua pihak memahami dan menunaikan hak dan kewajibannya masing-masing, mereka yang memikul tanggung jawab lakukanlah sesuai hukum, etika dan moral melayani masyarakat sesuai dengan sumpah jabatan masing-masing. Dengan saling asih, asah, asuh, kita akan merasa sepenanggungan menyelesaikan masalah. ***

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Komentar
Berita Terkini