ANGIN segar berembus dari Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) karena beberapa hari lalu berhasil menangkap seorang Juru Sita oleh Tim Mystery Shopper Badan Pengawas (Bawas) peradilan tertinggi itu.
Selama ini tidak pernah terjadi seperti itu terbayang saja pun tidak, sebab selama ini Bawas MA justru dianggap pembela atau pelindung pegawainya yang diduga melanggar hukum atau berperilaku tidak baik.
Angin segar, karena Bawas MA terang-terangan memberantas pungutan liar dan atau pemerasan yang dilakukan oleh pegawai di lingkungan badan peradilan di bawahnya, sebagaimana dikemukakan juru bicara MA Suharto, (CNN Indonesia Senin, 30/5 kemarin).
"Pada hari Rabu tanggal 17 Mei 2023 sekitar pukul 14.32 WIB bertempat di JPO Jalan Letjen S Parman, Slipi, Palmerah, Jakarta Barat, seorang pegawai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Bawas MA di sebuah jembatan penyeberangan orang di kawasan Slipi, Jakarta Baratâ€, ujarnya.
Suharto menjelaskan Tim Mystery Shopper (MS) Bawas MA telah mengamankan sejumlah uang dari tangan terperiksa dalam operasi tersebut.
Ditambahkannya, "Operasi etik tangkap tangan yang telah dilaksanakan oleh tim Mystery Shopper Bawas tersebut berkaitan dengan adanya dugaan pungli dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum juru sita dalam proses pengurusan pengajuan permohonan penundaan eksekusi."
Sudah merupakan rahasia umum pameo “memperkarakan seekor kambing akan kehilangan sapi, dan kalau memperkarakan sapi bisa kehilangan kandang sapinyaâ€. Ada alasannya, mau eksekusi saja masih dipungli dan diperas supaya ditunda, bagaimana mulai dari gugatan di pengadilan, putusan sampai eksekusi, habis berapa pasti para pihak menanggung beban.
Dengan operasi etik yang dilakukan Tim MS Bawas tersebut, seorang panitera memungli untuk menunda eksekusi, sama dengan menganulir putusan majelis hakim. Betapa rentannya pengadilan kita mempermainkan hukum dan keadilan?
Makanya ide pembentukan Tim MS Bawas MA tersebut perlu dilanjutkan dan langsung menangani kasus oknum yang terjaring OTT. Pelaku langsung diproses termasuk atasannya dan pihak-pihak terkait lainnya.
Pelaku dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 ayat (3) Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 122/KMA/SK/VII/2013 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Panitera Dan Jurusita jo Pasal 5 huruf l jo Pasal 14 huruf h Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Dijatuhi hukuman disiplin berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS. Atasan langsung yang terkena OTT juga dinyatakan terbukti bersalah membiarkan/tidak melarang atau mencegah bawahannya melakukan tindakan pemerasan tersebut padahal sudah mengetahuinya.
Karena terbukti melanggar Pasal 6 ayat (3) Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 122/KMA/SK/VII/2013 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Panitera Dan Jurusita jo Pasal 3 huruf f jo Pasal 11 huruf f Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sehingga, atasan tersebut dijatuhi hukuman disiplin berat berupa pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan.
Berita di atas sungguh menggembirakan, harapan kita Bawas MA juga telah membersihkan MA sendiri dari praktek-praktek kotor seperti selama ini, di mana dua orang Hakim Agung dan Sekretaris Jenderal MA terjerat korupsi.
Tetapi menjadi pertanyaan, kasus pungli dan pemerasan mengandung unsur pidana, mengapa Tim MS Bawas MA tidak menyerahkannya kepada penyidik aparat penegak hukum? Apakah karena jumlah rupiah yang dipungli atau hasil pemerasan itu tidak besar? Sanksi kode etik tidak menghilangkan tindak pidana.
MA RI perlu menjelaskan kepada masyarakat, apakah oknum yang ter-OTT dan atasannya tersebut diproses sesuai hukum atau hanya Tindakan indisipliner saja? Sebab kalau demikian MA RI dalam hal ini Bawas MA melindungi pegawainya yang melakukan pelanggaran sebagai pemungli dan pemeras.
Tentu Mahkamah Agung lebih memahami seluk-beluk menerapan hukum di Republik ini, dan pasti MA juga tidak mau disebut tidak menerapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) karena tidak memproses pemungli dan pemeras ke penyidik. Dan MA juga tidak mau disebut memperlakukan hukum “tajam ke lawan, tumpul ke kawanâ€.
Kalau semua instansi pemerintah mengaktifkan Insipektur Jenderalnya melakukan seperti apa yang dilakukan Bawas MA, mungkin sedikit demi sedikit tekad untuk memberantas korupsi itu akan berhasil. Kesan selama ini Inspektur Jenderal cenderung administratif di belakang meja, bahkan jadi pelindung bagi pegawainya.
Prakarsa Bawas MA dengan Tim Mystery Shopper-nya boleh juga dicoba instansi lain. Sebab dengan karakter masyarakat kita (ASN) masih perlu ditertibkan dengan OTT, karena masih sering menghalalkan segala cara, mempersulit yang mudah. Terbukti Hakim Agung saja masih terkena imbas OTT, bagaimana pegawai lain yang di tempat-tempat nun-jauh di sana?
Mudah-mudahan Bawas MA terus bergerak, kalau tidak hanya pencitraan atau pengalihan kasus korupsi yang merundung dua Hakim Agung dan Sekjen MA. Lebih menyakitkan lagi kalau MA dituding “hangat-hangat tahi ayamâ€.
Kita harapkan Tim MS-nya bekerja efektif dan berkelanjutan, tidak hanya sekedar unjuk gigi.
Bravo Bawas MA RI.***
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.