Medan (Pelita Batak):
Sejak 17 Oktober 2014, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan ulos sebagai warisan budaya takbenda
nasional. Penetapan ditandai dengan penyerahan sertifikat yang dilangsungkan
pada 17 Oktober 2014 di Museum Nasional Jakarta.
Dikatakan Manguji Nababan, dosen budaya di Universitas HKBP
Nommensen Medan, setiap mata budaya yang akan ditetapkan menjadi WBTB harus
melalui sidang penetapan di hadapan tim ahli WBTB Nasional. Bertempat di Hotel
Millenium Jakarta, Manguji bersama Misnah (Staf BudParSu) pada tgl 14 Oktober 2014 memberi argumentasi
tentang nilai 7 mata budaya asal Sumut. Hasilnya, Kemendikbud RI
menetapkan; Ulos (Batak Toba), Merdang
merdem (Karo) Huda-huda (Simalungun) Marahoi dan Serampang Dua belas (Melayu)
Bola Nufo (Nias), Omo Hada (Nias)
bersama 60-an mata budaya warisan di wilayah R.I menjadi warisan budaya
tak benda Nasional.
Lantas, apa artinya bagi pembangunan kebudayaan? Penetapan
ini adalah wujud komitmen Indonesia dalam
upaya Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda
(Intangible Cultural Heritage), yakni;
warisan budaya berupa bendawi dan tak benda.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan
warisan budaya tak benda adalah segala praktik, representasi, ekspresi,
pengetahuan, keterampilan serta alat-alat, benda (alamiah), artefak, dan ruang-ruang
budaya terkait dengannya yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan
dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka,” ujar
Manguji yang dikenal dengan sosok penggali pustaha laklak ini.
Lebih lanjut dikatakannya, warisan budaya tak benda meliputi
tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa, seni pertunjukan, adat-istiadat
masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Selain itu, juga pengetahuan dan
kebiasaan perilaku mengenal alam dan semesta serta kemahiran kerajinan
tradisional.
Memaknai penetapan warisan budaya tak benda tersebut adalah
tugas bersama, para guru, dan para pengisi media massa untuk meningkatkan
kesadaran budaya yang meliputi; perlindungan, pengembangan, pemasaran,
investasi dan bisnis, serta pemberdayaan masyarakat.
MEMPERINGATI HARI ULOS NASIONAL
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menetapkan ulos sebagai
Warisan budaya Takbenda Tanggal 17 Oktober 2014 dengan No Reg 53982G/MPK.A/DO/2014.
Sebagai respons atas ketetapan pemerintah itu, oleh
komunitas Pencinta dan Pelestari Ulos
menggagasi sekaligus pendeklarasian hari ulos di Jalan Sei Galang, Medan, Sabtu
(17/10/2015).
Pada kesempatan itu, Manguji menyampaikan orasi kebudayaan
bertajuk, "Ulos masa lalu, sekarang dan pada masa mendatang" Kegiatan
itu adalah sebagai langkah revitalisasi
untuk menghidupkan kembali budaya tersebut yang bisa digunakan sebagai modal
kultural guna pewarisan kebudayaan kepada generasi berikutnya.
“Dalam upaya pelestarian budaya, kita harus memahami
pentingnya, "Manaili tu pudi, Marpangantusion di na masa si saonari jala
Marpanatap tu jolo," (mengingat masa lalu, memahami masa kini untuk
mempersiapkan masa depan),” ujarnya.
Ulos, bagi masyarakat Batak pada awalnya dimaknai sebagai
perlambang setiap pemberian hula-hula kepada pihak boru. Ulos (herbang, ragi)
adalah sebagai kain tenun yang diwariskan leluhur kepada generasi saat ini.
Ulos Batak adalah jati diri dan identitas orang Batak yang tidak dimaknai
sekadar kain semata.
"Lebih jauh, ulos Batak adalah hasil karya budaya
leluhur yang bernilai estetika dan sarat makna filosofi dan bernilai cultural
yang tinggi. Ulos selalu setia mengiringi perjalanan kultural Batak baik pada
upacara pernikahan, kelahiran, duka maupun suka," ujarnya.
Ulos tenunan Batak asli hanya mengenal tiga warna, hitam,
putih dan merah. Dan bagi orang Batak memberi dan menerima ulos dimaknai
sebagai modal sosial dalam mengikat kasih dalam unsur kekerabatan maupun
hubungan persaudaraan.
Upaya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dalam menetapkan ulos menjadi warisan budaya takbenda nasional wajar
disambut dengan gembira. Sebagai masyarakat, kita juga perlu memelihara warisan
budaya nenek moyang tersebut dengan selalu menghidupinya untuk mewujudkan
Berkepribadian dalam Kebudayaan.
“Hal yang hakiki dalam memaknai hari ulos adalah bagaimana
kita bisa merevitalisasi akrifitas partonun. Nilai ketakbendaan (Intangible)
hanya bisa kita dapatkan lewat karya nyata partonun. Maka gunakanlah semangat
dan kepedulianmu membangun kelompok-kelompok partonun. Selain itu, pelajarilah kearifan yang ada di setiap ulos
dan transformasi pengetahuan itu ke anak cucu kita. Sehingga generasi mendatang
akan dapat mengaksesnya,” tambah Manguji.(**)