Tradisi Masa Lalu Di Bius Bakkara Tempo Dulu

Jan Eduart Sipayung - Sidikalang Dairi
Administrator Administrator
Tradisi Masa Lalu Di Bius Bakkara Tempo Dulu
Ist|PelitaBatak

LEMBAH Bakkara adalah sebuah lembah indah di jajaran Bukit Barisan, yang bisa dianggap seperti teluk segitiga di bagian barat, dengan dasar lembah yang merupakan pantai Danau Toba. Lembah ini luasnya sekitar 15 kilometer persegi dan dihuni oleh sekitar 7836 jiwa sesuai data sensus ahun 2020. Tanah di lembah ini sangat subur karena lembah ini menampung air dan humus yang jatuh dari hutan di sekitarnya. Ini membuat Lembah Bakkara menjadi daerah pertanian yang sangat produktif.

Keindahan alam Bakkara begitu memukau sehingga sering menjadi inspirasi puisi rakyat. Sawah-sawah, mata air, jeram-jeram, dan kemakmurannya sering dijadikan lirik lagu pujaan. Puisi dan lagu-lagu tersebut mengisahkan tentang Singamangaraja dan menggambarkan daerah pemukimannya sebagai negeri yang "gemah ripah loh jinawi". Lembah Bakkara menjadi latar utama bagi mitos dinasti Singamangaraja sejak abad ke-16.

Sitor Situmorang menyatakan bahwa ada hubungan erat antara peran Bius Bakkara sebagai bius yang mandiri dan berdaulat dengan kedudukannya sebagai tempat Lembaga Singamangaraja. Hubungan ini terjalin dalam dua bidang: bidang simbolis dan bidang pelaksanaan upacara.


Bidang Simbolis

Di bidang simbolis, hubungan tersebut tercermin dalam penghormatan terhadap keberadaan Lembaga Singamangaraja. Di pusat Bius Bakkara terdapat tempat keramat paguyuban yang khas, di mana ditanam enam pohon beringin. Pohon-pohon beringin ini melambangkan status Bakkara sebagai kedudukan Lembaga Singamangaraja, sebuah simbol yang unik dan tidak ditemukan di tempat keramat bius lainnya. Keberadaan pohon beringin ini menunjukkan penghormatan dan pengakuan terhadap peran penting Singamangaraja dalam kehidupan masyarakat Bakkara.

Bidang Pelaksanaan Upacara

Di bidang pelaksanaan upacara, Singamangaraja dihormati sebagai Dewaraja, atau pemimpin spiritual tertinggi, yang menjadi panutan bagi semua Parbaringin (pendeta) dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Di Kraton Singamangaraja, pendeta Parbaringin dari Bius Bakkara ikut berperan sesuai dengan tata tertib upacara yang berkaitan dengan Singamangaraja. Partisipasi Parbaringin lokal dalam upacara di Kraton Singamangaraja menunjukkan bahwa mereka menjalankan tugas khusus di luar peran mereka sebagai pendeta di Bius Bakkara.

Dengan demikian, Bakkara memiliki posisi khusus baik secara simbolis maupun dalam pelaksanaan upacara keagamaan, memperkuat statusnya sebagai pusat kebudayaan dan spiritual yang penting dalam masyarakat Batak Toba.

Pesta bius di Bakkara dipimpin oleh para raja bius, yang merupakan Dewan Bius dan mewakili Sionom Ompu, serta didampingi oleh Parbaringin sebagai pelaksana upacara. Umumnya, pesta bius di Bakkara dilakukan berdasarkan tona (pesan) dari Si Singamangaraja. Beberapa kegiatan bius yang dilakukan di Bius Sionom Ompu atau Bius Bakkara meliputi:

1. Mangongkal Holi: Mengangkat tulang-belulang leluhur bersama. Ini adalah upacara untuk menghormati nenek moyang dengan memindahkan tulang-belulang mereka ke tempat pemakaman yang lebih layak.

2. Mamungka Huta: Membuka huta (desa). Ini adalah upacara yang dilakukan saat membuka atau mendirikan sebuah desa baru, sebagai tanda permulaan kehidupan di tempat tersebut.

3. Ulaon Sarimatua: Upacara untuk leluhur yang meninggal dan semua anak-anaknya sudah menikah dan memiliki anak. Ini adalah upacara penghormatan terakhir bagi leluhur yang telah mencapai tingkat kehidupan yang dihormati, yaitu memiliki keturunan yang sudah mandiri.

4. Horja Bius: Upacara untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama. Ini adalah upacara yang dilakukan oleh komunitas bius untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi seluruh anggota komunitas.

Upacara-upacara ini mencerminkan kekayaan tradisi dan budaya masyarakat Bakkara serta menunjukkan betapa pentingnya peran Bius dan Lembaga Singamangaraja dalam kehidupan sosial Dalam upacara Bius Si Onom Ompu, diberlakukan aturan-aturan berikut terkait urutan berbicara berdasarkan marga tuan rumah:

1. Jika Marga Bakara sebagai tuan rumah:

• Pertama berbicara: Marga Sihite

• Selanjutnya: Marga Simamora, Sinambela, Simanullang, dan Marbun

2. Jika Marga Sinambela sebagai tuan rumah:

• Pertama berbicara: Marga Bakara

• Selanjutnya: Marga Sihite, Simanullang, Simamora, dan Marbun

3. Jika Marga Sihite sebagai tuan rumah:

• Pertama berbicara: Marga Bakara

• Selanjutnya: Marga Simamora, Sinambela, Simanullang, dan Marbun

4. Jika Marga Simanullang sebagai tuan rumah:

• Pertama berbicara: Marga Bakara

• Selanjutnya: Marga Sihite, Sinambela, Simamora, dan Marbun

5. Jika Marga Simamora sebagai tuan rumah:

• Pertama berbicara: Marga Sihite

• Selanjutnya: Marga Bakara, Sinambela, Simanullang, dan Marbun

6. Jika Marga Marbun sebagai tuan rumah:

• Pertama berbicara: Marga Bakara

• Selanjutnya: Marga Sihite, Simamora, Sinambela, dan Simanullang

Upacara Mangase Taon

Salah satu upacara bius di Bius Sionom Ompu adalah upacara Mangase Taon. Dalam upacara ini, seekor kerbau yang disebut horbo bius dipotong untuk memastikan musim tanam terhindar dari hama seperti tikus (amporik tano) dan burung (amporik langit) yang bisa merusak tanaman.

Prosesi Upacara Mangase Taon:

1. Kerbau ditarik oleh dua orang mengelilingi huta (desa) menuju Hatopangan (pertemuan dua sungai) dan melalui sungai ke Tao (danau).

2. Di danau, masyarakat melempari kerbau dan dua penariknya sambil mengucapkan "pamuli silasang" yang berarti "usir dan jauhkan pengganggu tanaman bernama silasang".

3. Setelah itu, kerbau ditarik ke Onan Bakara dan diikat pada sebuah kayu setinggi sekitar 2 meter yang disebut hau borotan. Hau borotan adalah kayu istimewa yang diambil dari hutan belantara dan dihias dengan daun-daun tertentu yang diikat dengan tali ijuk.

4. Ritual di hau borotan ini dilakukan hingga akhir acara, kemudian kerbau ditombak dan disembelih.

5. Daging kerbau dibagikan kepada semua warga bius oleh masing-masing Raja huta.

Jika upacara atau horja bius bertujuan untuk menjauhkan penyakit karena gangguan begu (roh jahat), maka yang dipotong adalah seekor kerbau yang dinamakan horbo pangeak.

dan spiritual mereka.

Selain upacara-upacara yang telah disebutkan, ada juga upacara bius yang dilaksanakan pada awal musim tanam yang disebut maname. Upacara ini dipimpin oleh Raja Singamangaraja, yang merupakan raja dari segala Raja bius, dan dilaksanakan di sebuah tempat yang disebut Pardebataan, yang terletak di lingkungan istana Raja.

Prosesi Upacara Maname:

1. Pemotongan Kuda: Seekor kuda yang dinamakan Hoda Silintong dipotong di batu Pardebataan. Darah kuda tersebut dituangkan di atas tanah di bawah batu Pardebataan.

2. Pengamatan Tanah: Meskipun tanah tidak berlubang, darah tersebut tidak membuat tanah menjadi merah. Setelah ditunggu selama 10 hingga 15 menit, semut-semut besar muncul dari bawah tanah membawa telur.

3. Penafsiran Warna Telur:

• Jika telur yang dibawa semut berwarna merah, berarti bibit padi yang harus ditanam adalah padi merah.

• Jika telur yang dibawa berwarna putih, berarti bibit padi yang harus ditanam adalah padi putih.

• Jika telur yang dibawa sebagian merah dan sebagian putih, berarti bibit padi yang bisa ditanam bebas, baik padi merah maupun padi putih.

Setelah semut-semut membawa telur mereka dan menghilang, batu Pardebataan tersebut ditutup kembali. Penting untuk mengikuti hasil penafsiran dari telur yang dibawa semut. Jika petunjuk ini dilanggar, padi yang ditanam akan rusak. Upacara maname ini menunjukkan betapa pentingnya mengikuti tanda-tanda alam dan tradisi dalam memastikan keberhasilan panen.

Pesta bius ini berlangsung sampai tahun 1920_an hingga pada akhirnya hilang perlahan akibat larangan pemerintah Belanda pada masa itu. *

Komentar
Berita Terkini