Restorasi dan Reformasi Mar-Adat Pasca Covid 19

Administrator Administrator
Restorasi dan Reformasi Mar-Adat Pasca Covid 19
ist
Sampe L Purba
Oleh : Sampe L. Purba


Pendahuluan 


Terjadinya pandemik CoronaVirus 19 (CoVid 19) yang melanda seluruh dunia, telah membawa perubahan signifikan dalam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi saat ini di bidang IT, mendukung penyesuaian pola hidup dengan lebih cepat. Ya di bidang bisnis, hukum, pendidikan, layanan keagamaan dan lain lain. 


Dalam beberapa hal, CoVid 19 telah merupakan blessing in disguise. Alam diistirahatkan sejenak dari eksploitasi.  Kita dapat memandang birunya langit bebas polusi, waktu lebih banyak dengan keluarga dan lain-lain.  Hal ini mengingatkan kita betapa Tuhan juga, mengharapkan ada periode periode tertentu bumi diharuskan total rest. Hal ini dapat kita baca dalam peraturan Sabat mingguan  dan Sabat 7 tahunan dalam taurat.1


Khuloud Al Omian dari Forbes, mengidentifikasi ada 10 hal yang berubah. Dalam satu tulisan pendek,  saya mengelaborasi pandangannya  dan tambahkan 2 butir di bidang layanan peribadatan dan pelaksanaan adat2. 


Tulisan ini akan mengulas bagaimana diharapkan praktek Mar-Adat akan menyesuaikan pasca pandemik ini.  Konteks pembahasan adalah esensi dan praktek adat Batak, khususnya Batak Toba yang dominan beragama Kristen.


Untuk kepentingan penulisan dalam makalah ini, Mar-Adat mencakup esensi, substansi dan praktek pelaksanaan adat Batak. 

Evolusi dan percampuran Adat dan Agama 


Orang Batak adalah orang yang sangat lekat dengan tradisi. Adat menjadi bagian dari tradisi tersebut. Orang batak telah memiliki sistem adat, yang berjalan harmonis dengan sistem dan tata pemerintahan lokal maupun dengan spiritualisme. Di masyarakat Batak, secara umum dicap tidak beradat jauh lebih dianggap menghina dari pada dicap tidak taat beragama. 


Salah satu sarjana yang mengulas secara komprehensif mengenai masyarakat dan hukum adat Batak Toba adalah J.C. Vergouwen3. Sianipar4, mengidentifikasi adat Batak dalam beberapa era. Ada periode sebelum agama agama hadir, ada periode zaman kolonial - di mana menjadi sangat eksklusif Batak di sekitar pedalaman sekitar danau toba diasosiasikan dengan agama kristen, dan ada periode pasca kolonial. 


Dari empat misi kekristenan ke Tanah Batak Pedalaman, yang paling sukses adalah misi RMG5. Pada tahun 1861 empat perintis injil di tanah batak, menyerahkan misi penginjilan ke RMG6. Salah satu tokoh RMG yang terkenal adalah L.I Nommensen, yang masuk ke tanah Batak Silindung tahun 1864. Di tangan tokoh tokoh RMG, perkembangan gereja Batak berkembang pesat. Organisasi Gereja Batak yang mula mula di tanah Batak adalah HKBP.  


Walau sebelumnya ada perlawanan, namun kekristenan memenangkan pertarungan budaya7. Esensi, substansi dan praktek MarAdat, merupakan evolusi, perjumpaan dan interaksi bergereja, bermasyarakat dan berpemerintahan, dengan segala kompleksitas lingkungan sosial budaya idealis maupun pragmatis yang mengikutinya. 


Tokoh tokoh pemimpin gereja, menjadi sekaligus tokoh yang disegani dan panutan dalam lembaga adat. Hal ini terbawa hingga masa masa awal kemerdekaan dan dalam fase kemandirian gereja Batak. Uraian lebih lengkap mengenai jabatan di gereja dalam hubungannya dengan struktur masyarakat Batak, maupun dengan Pemerintah setempat antara lain terdapat dalam buku Dr. Andar L. Tobing8. 


Landasan Pemikiran


Umum 


Adat adalah tradisi tata nilai yang dianut dan dipraktekkan dalam interaksi hubungan kekerabatan dan sosial, sebagai pewujudan pemenuhan hak, kewajiban dan tanggung jawab insani kepada masyarakat lingkungan asosiasinya. Adat itu sifatnya interaktif dan berbalasan. Adat dalam makna yang yang lebih mikro dan konkrit dalam masyarakat batak mewujud dalam falsafah dalihan na tolu paopat sihal-sihal.


Dalihan natolu adalah inter relasi manusia batak terhadap manusia batak lainnya yang lahir dan berkembang karena hubungan perkawinan dan kekerabatan. Dalam sistem dalihan na tolu, pada dasarnya seseorang dapat memposisikan dirinya sebagai kerabat/ dongan tubu/ kahanggi/ senina, kelompok pihak hula-hula/mora/kalimbubu (bridegiver) atau boru/anak boru/panagolan (bridetaker). Sedangkan sihal-sihal adalah kelompok masyarakat luas termasuk raja dan tetua adat, di lingkungan adat tersebut dipraktekkan. 

Siklus kehidupan sarat adat


Raja Patik Tampubolon menulis buku yang mendeskripsikan lingkup adat budaya dan hukum hukum Batak mulai sejak zaman dongeng hingga zaman agama kristen, yang sangat dominan merubah dan mereformasi dari tradisi yang sebelumnya hidup di lingkungan Batak pra agama9. Ulasan Tampubolon ini sangat luas, mencakup sistem kehidupan kebudayaan, yang unsur unsurnya sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat10. 


Hampir seluruh siklus kehidupan masyarakat Batak saat ini, mulai dari kelahiran - akil baligh - menikah - meninggal dunia, melibatkan unsur unsur dalihan na tolu. Dalam pelaksanaannya, ada yang di rumah, dan ada yang di lapangan/ antaran/ lobuan, yang di kota kota disubstitusi gedung pertemuan.


Menikah dan dan adat meninggal dunia (terutama untuk yang meninggal tua/ saur matua) adalah contoh yang paling paripurna, di mana seluruh unsur dalihan na tolu mengambil peran. Persamaan utama di antara kedua event ini adalah melibatkan unsur dalihan na tolu yang sangat luas, pelaksanaannya memakan waktu yang relatif lama, dan biaya yang besar. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa  pernikahan direncanakan jauh jauh hari, sedangkan peristiwa meninggal dunia, umumnya adalah mendadak walau telah diantisipasi. 


Peristiwa pernikahan dan kematian juga ada pada masa CoVid 19. Sesuai anjuran Pemerintah, acara pernikahan umumnya ditunda terutama pesta unjuk (pesta penabalan), namun peristiwa yang mendahuluinya seperti mendiskusikan mahar (marhata  sinamot) dan martumpol (ikat janji) maupun pemberkatan nikah, ada juga yang berlangsung. Peserta terbatas sesuai ketentuan social and physical distancing. 


Ada yang meninggal karena terpapar covid 19, dan ada juga yang tidak terkait langsung. Dalam peristiwa kematian yang tidak terkait covid, karena ada pembatasan  berskala besar (PSBB), tata cara adat tetap dilaksanakan, walau hanya dengan jumlah terbatas, sepanjang memenuhi dan mewakili unsur-unsur dalihan natolu. 


Di mata masyarakat adat, pelaksanaan adat tersebut sah dan penuh. Terpenuhi esensinya, walau konteksnya adalah karena keterpaksaan atau karena kedaruratan. 


Apakah setelah pandemic 19 berlalu, model kesederhanaan pelaksanaan marAdat dapat diadopsi dan disempurnakan, tanpa harus dikaitkan karena kedaruratan ? Dengan kata lain bagaimana restorasi (pengembalian ke esensi) dan reformasi (penyederhanaan) pelaksanaan maradat dapat dilaksanakan ke depan. 


Alur Pikir 


Kondisi Praktek Pelaksanaan Mar-Adat saat ini


Praktek pelaksanaan adat saat ini cenderung berbelit - belit, rumit, berbiaya mahal dan makan waktu yang lama. Peristiwa pernikahan misalnya. Ada serangkaian tata cara yang harus diikuti, serta melibatkan banyak orang, walau sebagian besar adalah pasif. Orang yang diadatkan (pengantin) yang menikah cenderung menjadi objek, dan bukan subjek dari peristiwa tersebut. Hal yang sama juga berlaku pada saat ada kematian/ meninggal dunia. Keluarga yang berduka, yang capai dan kehabisan biaya untuk perawatan dan pengobatan, untuk acara pemberangkatan adatnya (terutama kalau adat meninggal tua) memakan waktu dan biaya besar. Berbagai tulisan maupun pendapat di medsos banyak ditemui mengenai hal tersebut11.


Pokok Persoalan


a. Pergeseran Esensi Mar-Adat


Dewasa ini telah ada pergeseran dan perbauran antara melaksanakan adat, berpesta pora, show off, atau juga sekedar bersilaturahmi. Esensi dan substansi adat yang sebelumnya merupakan falsafah adat dalihan na tolu telah banyak bergeser. Sianipar menyebut, pergeseran itu terutama setelah unsur adat dalihan natolu, digantikan oleh adat suhi ni ampang na opat12. Dalam model baru ini, orang yang tidak termasuk dalam unsur dalihan na tolu, tetapi memiliki kedudukan penting, seperti Parmalim, Unsur Pemerintah, Parhalado, Keluarga jauh yang terpandang, rekan rekan menjadi bagian esensial dari adat. 



Adat telah bergeser menjadi festivy. Festival yang menunjukkan status sosial seseorang di masyarakat. Tidak jelas lagi mana yang utama (esensialia), yang memang telah ada dan melekat (naturalia) maupun yang sifatnya asesories (accidentalia)


b. Kesenjangan Kemampuan Ekonomi


Melaksanakan acara adat tidak berbiaya murah. Acara pernikahan misalnya. Anak anak yang hendak menikah umumnya masih baru berkarier. Sementara orangtuanya telah pensiun atau tua, namun masih memiliki beberapa tanggungan. Penyelenggaraan acara adat, seminim apapun akan menyentuh angka ratusan juta rupiah. Sewa gedung, hidangan, acara sebelum pesta, pakaian pengantin. Belum lagi mahar. Semua itu sangat memberatkan.


Adat bermetamorfosa menjadi perhelatan sosial yang terkadang dipaksakan demi harga diri, dan untuk tidak dicap kurang beradat. 

Tidak demikian tentu bagi yang secara ekonomi berpunya. 


Dalam sejarah leluhur orang Batak, sesungguhnya tidak demikian. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai literatur dan cerita cerita rakyat zaman dulu13. 


Pada zaman dahulu, justru yang lebih meriah itu adalah upacara kematian. Itupun terbatas bagi keluarga raja raja dan orang berpunya. Upacara tersebut lebih merupakan peristiwa sosial untuk menunjukkan kelas. Bukan peristiwa adat14.  


Sementara dewasa ini, peristiwa pernikahan, dan juga acara saur matua (meninggal) orangtua telah lebih dominan merupakan peristiwa hedonis, pamer dan mangalindakhon na adong (show off) 15. Kalau perlu berhutang!


c. Keengganan Untuk Pembaruan


Orang Batak pada umumnya adalah masyarakat komunal yang memiliki patron. Para Patron atau tetua adat ini menemukan panggungnya pada acara acara adat. Gelar kehormatan mereka sangat tinggi, seperti Parsinabung, Parsaut, Raja Parhata dan sebagainya. 


Mereka-mereka ini, umumnya adalah para pensiunan, mantan pejabat atau partikelir yang status ekonomi dan sosialnya relatif lebih baik dari orang kebanyakan. Mereka menjadi tokoh tokoh adat dan Pengurus Marga. 


Pada umumnya, mereka menganggap ide ide pembaharuan adalah menggerus fondasi dan wibawa adat batak secara perlahan. Adat Batak adalah ugari dan warisan turun temurun yang harus dilestarikan dan dikembangkan. 


Ada banyak seminar, sarasehan dan juga penerbitan buku-buku yang mengeluhkannya, dan meminta pembaruan, namun relatif tidak ada perubahan16. Kebanyakan adalah retorika dan pembaruan artificial. Semu.


d. Interaksi dengan Masyarakat Modern 


Masyarakat Batak adalah bagian dari masyarakat Indonesia.


Tokoh tua - tua penyelenggara adat saat ini pada umumnya adalah orang orang yang lahir dan besarnya di daerah adat asal orang Batak (bona pasogit), berhasil secara ekonomi dan sosial di perantauan dan menjadi panutan. Orang orang tua ini memiliki bekal dasar sendi sendi penyelenggaraan adat, namun dimodifikasi terlalu jauh. Ibarat lagu, referein jadi lebih panjang dari bait-bait lagu. Lebih banyak bumbu dibanding ikan. Di sisi lain, orang orang yang tinggal di bona pasogit berorientasi kepada orang orang kota menjadi patron. Meniru-niru. Akibatnya, pelaksanaan adat di desa meniru yang di kota. Sementara yang di kota telah melenceng. Di sinilah paradoks itu berkelindan.


Anak anak yang lahir di kota, berinteraksi dengan banyak kebudayaan, suku, bangsa dan teknologi. Perjumpaan modernitas, persaingan produktivitas dalam memanfaatkan waktu dan  networking mengakibatkan anak-anak muda ini teralineasi dengan paradaton. Salah satu indikatornya adalah tidak ditemukannya lagi keluarga keluarga muda yang mau aktif di arisan kelompok marga, sebagai pengurus marga, atau menghadiri pesta Batak (kecuali memang karena kelompok inti/ hasuhuton) yang menyelenggarakan hajatan. 


Banyak di antara anak anak muda ini, yang menemukan jodohnya bukan orang Batak. Ketika mereka "diharuskan" mengikuti beberapa aturan adat, seperti diberi marga dan seterusnya, ini menjadi sesuatu formalitas yang tidak langgeng.17


Pengalaman dari Negara lain


Jepang adalah contoh yang baik. Negara ini ratusan tahun berada di bawah tradisi shogunate yang sangat kuat. Tetapi hampir semua tradisi tersebut kini  telah ditinggalkan dan bertransformasi menyesuaikan dengan modernitas. Artefak artefak dan peralatan budaya zaman dulu paling paling ditemukan di museum museum seperti di The Heritage Edo-Tokyo Museum18. 


Lihat saja gaya anak muda zaman sekarang. Kalau ingin momen perkawinannya diabadikan secara modern, mereka bisa pergi ke gereja di sekitar Kuil Asakusa Senso-Ji. Ada petugas gereja  yang melayani upacara instan di situ. Mereka bisa lanjut berdoa ke arwah leluhur di kuil. Sambil tak lupa berselfie dengan capture menarik. Meninggalnya? Bisa juga secara tradisi agama Shinto.


Walaupun demikian, anak anak muda Jepang tidak kehilangan jiwa keluhuran dari nenek moyangnya seperti kerja keras, pantang menyerah, setia kawan, bertanggung jawab sampai tuntas (spirit bushido). Tetapi, mereka telah meninggalkan tata cara tradisi yang dianggap banyak irasional dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Mereka sangat kompetitif rasional.  Substance over form


Paradigma marAdat


Paradigma marAdat harus dikembalikan kepada esensi yang sesungguhnya. Harus dapat dibedakan mana yang acara adat, mana yang bukan acara adat, tetapi dipaksakan seolah olah adat. 


Konsepsi  Restorasi dan Reformasi Adat


Konsepsi restorasi dan reformasi adat adalah untuk menjawab pertanyaan dasar, yaitu :


Apa itu esensi dan hakikat adat (apa lingkupnya, mana yang adat, mana yang diadatkan, mana yang bukan adat). Pertanyaan antologis ini harus dijawab tuntas dan jujur. Selanjutnya harus menjawab apa yang menjadi sumbernya, apa rujukannya, bagaimana strukturnya, bagaimana pelaksanaannya. Apakah kompleksitas acara pernikahan, adat meninggal orang tua, atau memberikan marga kepada non Batak, harus  dilaksanakan secara tradisional  atau dapat memanfaatkan kemajuan teknologi IT. Ini adalah pertanyaan pertanyaan yang bersifat epistemologis. Bagian terakhir dalam konsepsi adat adalah untuk menjawab secara aksiologis apa manfaatnya. Apakah misalnya mangulosi (memberikan kain ulos) adalah sebuah simbol semata atau itu adalah sarana dan prasarana berkah. Apakah upacara pernikahan, upacara pemberangkatan orang tua yang meninggal dan atau pemberian marga kepada non Batak merupakan cara untuk menjaga wibawa dan martabat adat, at any reasonable cost. Atau apakah ada berkah yang secara langsung atau tidak langsung diperoleh dari upacara tersebut. 


Restorasi Adat adalah pemulihan dan pemurnian serta pengembalian esensi adat kepada yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan di atas, esensi adat adalah terpenuhinya hak hak dan kewajiban adat para pihak dalam unsur pemangku adat dalihan na tolu. Extended family dari parjambar na gok (yang berhak menunaikan kewajiban serta menerima hak adat) pada dasarnya bukanlah adat. Itu adalah pelencengan yang mengkompromikan adat dengan status sosial seseorang.


Reformasi Adat


Reformasi  adat adalah pembaruan. Yang dibaharui bukan esensinya, melainkan tata caranya. Penyelenggaraan marAdat harus dapat memilah ends - means - ways.  Ends (apa yang menjadi tujuan)  - ways (cara, prosedur, tata laksana) - means ( sumber daya, instrumen, dana, waktu dan orang) yang terlibat untuk mencapai tujuan. Teknologi Informasi modern harus menjadi bagian dari instrumen adat. MarAdat yang sederhana dan substantif. 


Hikmah Pandemik CoVid 19


Pandemik CoVid 19 telah membuka wawasan manusia mengenai organisasi, tata nilai, pemanfaatan teknologi, dan reinterpretasi substance over form. Dalam konteks kehidupan spritualitas misalnya, hadir ibadah on line. Semua serba on line. Ya ibadah on line, pemberkatan nikah on line, persembahan on line, perjamuan kudus on line. Ini semua sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para theolog dan ahli memberikan pendapat dan interpretasinya yang pada intinya adalah cara-cara ini tidak sedikitpun mengurangi makna substantif beribadah. 


Kalau dalam bidang tata cara melaksanakan ritual ibadah saja, dimungkinkan untuk perubahan, bukankah seyogianya di bidang pelaksanaan adat lebih mudah. 


Bahwa yang menjadi pemicu adalah covid 19 itu betul. Ada hukum kedaruratan di sana. Namun dengan melihat praktikalitas, efisiensi, serta ditopang teknologi yang murah, aksessibel dan tersedia meluas seperti fasilitas applikasi fasilitas teleconference, membandingkan cost and benefit, serta outcomenya, tidak ada salahnya, pasca Covid 19, ketika kehidupan sudah berangsur normal, beberapa hal yang baik itu dipertahankan dan dikembangkan. 


Momentum pandemik Covid 19,  telah membuka persepsi, value, nilai dan praksis baru. Tidak terkecuali dalam marAdat. Arnold Toynbee, Sejarawan dan ahli di bidang Civilizations and Religions pernah berkata, hanya peradaban yang menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungannya yang akan bertahan19. 


Beberapa Usulan Konkrit


Acara Pernikahan


* Acara yang mendahului pesta pernikahan, seperti mangarangrangi, marhusip dan martonggo raja, cukup dilakukan oleh keluarga inti. Terserah apakah akan dilaksanakan dengan tatap muka, atau dengan menggunakan media elektronik.

* Pemenuhan kewajiban adat (unjuk) dan prosesi kepada unsur dalihan natolu, kepada semua parjambar na gok, pemberian ulos dan seterusnya, dilakukan terpisah dan tersendiri

* Ikat janji/ martumpol (jika dianggap masih perlu), pemberkatan nikah dan pencatatan sipil untuk TIDAK dicampur baurkan dengan upacara adat

* Acara memestakan kedua pengantin dapat dilaksanakan dalam bentuk resepsi umum. 

Upacara Meninggal Orang tua

* Acara martonggo raja/ berhimpun di rumah duka atau di tempat tinggal yang kemalangan yang disertai dengan makan bersama, seyogianya ditinggalkan. Itu akan sangat memberatkan bagi keluarga yang berduka secara ekonomi dan juga merepotkan. 

* Pemberian gelar/ tingkat kehormatan kepada orang tua yang meninggal dunia, tidak diperlukan. Adanya tingkatan seperti meninggal sari matua, saur matua dan seterusnya tidak relevan lagi. Strata ini menyedihkan bagi orang tua yang meninggal dunia, tetapi tidak meninggalkan anak keturunan laki-laki20. 

Upacara Mamampe (memberikan) marga

* Upacara atau acara memberikan marga kepada pengantin non Batak, sebagai persyaratan untuk dapat melaksanakan adat marunjuk (pemenuhan adat) tidak relevan. 

* Sesuai hukum dalihan na tolu, hak hak dan kewajiban adat timbul adalah ketika terjadi pernikahan antar pria dan wanita yang membentuk keluarga baru. Kalau di pihak keluarga calon mempelai tersebut (pria atau wanita), memiliki adat dan tradisi tersendiri, kenapa harus secara artificial mereka "dibatakkan" hanya untuk sekadar menyelenggarakan pemenuhan hak hak dan kewajiban adat, kepada keluarga lama (hula hula dari orang tua mempelai yang menikah). 


Terima Kasih

Penulis  - Praktisi dan Pemerhati Acara Adat 

Tinggal di Jakarta




Bahan bacaan/ referensi : 


A. Lumbantobing, Pdt. Dr. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Disertasi 1957 dengan judul asli "Das Amt in der Batak-Kirche", terjemahan BPK Gunung Mulia, 1992. 


Arnold J. Toynbee, A study of history,  Oxford University Press, 1987

BA Simanjuntak (ed)  Pemikiran Tentang Batak, dalam rangka jubileum 125 tahun HKBP, Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986. 


Gens G. Malau, Dolok Pusuk Buhit, Jakarta, 1997


Irwansyah Harahap, Hata ni Debata, Etnografi Kebudayaan Spritual - Musikal Parmalim Batak Toba, Semai, Medan 2016


J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, 2004

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, 1988


Manguji Nababan, Torsa torsa hombung, CV Vanivan Jaya Medan, 2015

Olson & David R and Michael Cole (eds) Techology, Literacy and the Evolution of Society, Psychology Press, 2006

Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tombaga Holing, Adat Batak Patik Uhum, Penerbit Kerukunan Masyarakat Batak, Jakarta 2002. 


SHW Sianipar, Tuho Parngoluon Dalihan Natolu - Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, CV Pustaka gama, Medan, 1991


William Marsden, Sejarah Sumatera, Komunitas Bambu, Jakarta, 2008




1 Imamat 25,4 : Setiap selang 7 tahun, tanah pertanian harus dibiarkan apa adanya tidak boleh diusahai. 

2 Sampe Purba, Wajah Baru Dunia Pasca Corona https://www.senayanpost.com/wajah-baru-dunia-pasca-corona/

3 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, 2004

4 SHW Sianipar, Tuho Parngoluon Dalihan Natolu - Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, Buku Pertama - Bab X Pertentangan Batak dan Agama, hal 178 - 186. 

5 Keempat misi injil tersebut adalah Utusan Injil Gereja Baptis dari Inggeris 1820 (Burton CS), Utusan American Board of Commisioners for Foreign Mission 1834 (Lyman dan Musson), dan Utusan Injil Belanda 1857 (Van Asselt Cs) dan Utusan Injil Jerman RMG  https://www.dictio.id/t/bagaimana-sejarah-masuknya-agama-kristen-ke-suku-batak

6 Keempat Penginjil atau misionaris tersebut adalah Pdt. Heine, Pdt Klemmer, Pdt. Betz, dan Pdt. Van Asselt. Ada yang menyebut, singkatan atau inisial nama mereka H-K-B-V yang belakangan menjadi HKBP, Huria Kristen Batak Protestan. Tahun berdiri organisasi gereja HKBP 1861  mengambil peristiwa kesepakatan rapat keempat tokoh tersebut. Pada tahun itu pula orang Batak pertama bernama Jakobus Tampubolon dan  Simon Siregar dibaptis oleh Pdt. Van Asselt di Sipirok.  https://medan.tribunnews.com/2019/10/07/genap-berusia-158-tahun-berikut-sejarah-huria-kristen-batak-protestan-hkbp;   https://pgi.or.id/gereja-anggota-pgi/ https://majalah.tempo.co/read/kolom/4053/pertamanya-bukan-di-silindung?

7 Irwansyah Harahap, Hata ni Debata, Etnografi Kebudayaan Spritual - Musikal Parmalim Batak Toba, Semai, Medan 2016

8 Pdt. Dr. A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Disertasi 1957 dengan judul asli "Das Amt in der Batak-Kirche", terjemahan BPK Gunung Mulia, 1992. 

9 Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tombaga Holing Buku I - V, Adat Batak Patik Uhum, Penerbit Kerukunan Masyarakat Batak, Jakarta 2002. 

10 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, 1988

11http://tabloidhoras.blogspot.com/2013/11/esensi-taruhon-jual-versus-dialap-jual.html; https://sitorusdori.wordpress.com/2009/12/11/patua-hata-dohot-marhusip/;https://www.aturduit.com/articles/tradisi-pernikahan-termahal/ ; https://www.hitabatak.com/tradisi-upacara-kematian-adat-batak-toba/

12 SHW Sianipar, ibid, buku 1 hal. 162

13 Gambaran kehidupan keseharian orang Batak zaman dulu, dapat dilihat pada berbagai cerita rakyat. Di antaranya adalah Manguji Nababan, Torsa torsa hombung, CV Vanivan Jaya Medan, 2015; Gens G. Malau, Dolok Pusuk Buhit 7, 1997

14 William Marsden, Sejarah Sumatera, Komunitas Bambu, Jakarta, 2008, hal. 337 - 359

15 https://kumparan.com/sampe-purba1545436375632/kremasi-peristiwa-budaya-atau-agama-1t7nAGbzgBs

16 Ada banyak buku dan penulis yang menyampaikan pandangannya. Namun pada umumnya semua ambivalen. Beberapa di antara buku itu adalah Pemikiran Tentang Batak, dalam rangka jubileum 125 tahun HKBP, editor BA Simanjuntak, Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986. 

17Mengenai absurditas pemahaman pemberian marga ini dalam konteks pemenuhan adat dalihan natolu, dapat diikuti pada artikel kami dengan judul "Mamampe Marga, sebuah absurditas. http://pelitabatak.com/print/Mamampe-Marga--Sebuah-Absurditas---

18 Untuk pembaca yang ingin mendalami lebih jauh, dapat merefer Olson & David R and Michael Cole (eds) Techology, Literacy and the Evolution of Society, Psychology Press, 2006

19 Arnold J. Toynbee, A study of history,  Oxford University Press, 1987

20 Sistem patrineal di tanah batak, aslinya adalah dalam konteks pewarisan. Orang tua yang meninggal dunia tanpa anak laki laki, maka warisannya akan beralih kepada Saudara terdekat. Model ini sudah tidak berlaku saat ini. Lalu untuk apa dipertahankan adat sari matua dan saur matua. 

Komentar
Berita Terkini