Dewasa ini telah ada pergeseran dan perbauran antara melaksanakan adat, berpesta pora, show off, atau juga sekedar bersilaturahmi. Esensi dan substansi adat yang sebelumnya merupakan falsafah adat dalihan na tolu telah banyak bergeser. Sianipar menyebut, pergeseran itu terutama setelah unsur adat dalihan natolu, digantikan oleh adat suhi ni ampang na opat12. Dalam model baru ini, orang yang tidak termasuk dalam unsur dalihan na tolu, tetapi memiliki kedudukan penting, seperti Parmalim, Unsur Pemerintah, Parhalado, Keluarga jauh yang terpandang, rekan rekan menjadi bagian esensial dari adat.
Adat telah bergeser menjadi festivy. Festival yang menunjukkan status sosial seseorang di masyarakat. Tidak jelas lagi mana yang utama (esensialia), yang memang telah ada dan melekat (naturalia) maupun yang sifatnya asesories (accidentalia)
b. Kesenjangan Kemampuan Ekonomi
Melaksanakan acara adat tidak berbiaya murah. Acara pernikahan misalnya. Anak anak yang hendak menikah umumnya masih baru berkarier. Sementara orangtuanya telah pensiun atau tua, namun masih memiliki beberapa tanggungan. Penyelenggaraan acara adat, seminim apapun akan menyentuh angka ratusan juta rupiah. Sewa gedung, hidangan, acara sebelum pesta, pakaian pengantin. Belum lagi mahar. Semua itu sangat memberatkan.
Adat bermetamorfosa menjadi perhelatan sosial yang terkadang dipaksakan demi harga diri, dan untuk tidak dicap kurang beradat.
Tidak demikian tentu bagi yang secara ekonomi berpunya.
Dalam sejarah leluhur orang Batak, sesungguhnya tidak demikian. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai literatur dan cerita cerita rakyat zaman dulu13.
Pada zaman dahulu, justru yang lebih meriah itu adalah upacara kematian. Itupun terbatas bagi keluarga raja raja dan orang berpunya. Upacara tersebut lebih merupakan peristiwa sosial untuk menunjukkan kelas. Bukan peristiwa adat14.
Sementara dewasa ini, peristiwa pernikahan, dan juga acara saur matua (meninggal) orangtua telah lebih dominan merupakan peristiwa hedonis, pamer dan mangalindakhon na adong (show off) 15. Kalau perlu berhutang!
c. Keengganan Untuk Pembaruan
Orang Batak pada umumnya adalah masyarakat komunal yang memiliki patron. Para Patron atau tetua adat ini menemukan panggungnya pada acara acara adat. Gelar kehormatan mereka sangat tinggi, seperti Parsinabung, Parsaut, Raja Parhata dan sebagainya.
Mereka-mereka ini, umumnya adalah para pensiunan, mantan pejabat atau partikelir yang status ekonomi dan sosialnya relatif lebih baik dari orang kebanyakan. Mereka menjadi tokoh tokoh adat dan Pengurus Marga.
Pada umumnya, mereka menganggap ide ide pembaharuan adalah menggerus fondasi dan wibawa adat batak secara perlahan. Adat Batak adalah ugari dan warisan turun temurun yang harus dilestarikan dan dikembangkan.
Ada banyak seminar, sarasehan dan juga penerbitan buku-buku yang mengeluhkannya, dan meminta pembaruan, namun relatif tidak ada perubahan16. Kebanyakan adalah retorika dan pembaruan artificial. Semu.
d. Interaksi dengan Masyarakat Modern
Masyarakat Batak adalah bagian dari masyarakat Indonesia.
Tokoh tua - tua penyelenggara adat saat ini pada umumnya adalah orang orang yang lahir dan besarnya di daerah adat asal orang Batak (bona pasogit), berhasil secara ekonomi dan sosial di perantauan dan menjadi panutan. Orang orang tua ini memiliki bekal dasar sendi sendi penyelenggaraan adat, namun dimodifikasi terlalu jauh. Ibarat lagu, referein jadi lebih panjang dari bait-bait lagu. Lebih banyak bumbu dibanding ikan. Di sisi lain, orang orang yang tinggal di bona pasogit berorientasi kepada orang orang kota menjadi patron. Meniru-niru. Akibatnya, pelaksanaan adat di desa meniru yang di kota. Sementara yang di kota telah melenceng. Di sinilah paradoks itu berkelindan.
Anak anak yang lahir di kota, berinteraksi dengan banyak kebudayaan, suku, bangsa dan teknologi. Perjumpaan modernitas, persaingan produktivitas dalam memanfaatkan waktu dan networking mengakibatkan anak-anak muda ini teralineasi dengan paradaton. Salah satu indikatornya adalah tidak ditemukannya lagi keluarga keluarga muda yang mau aktif di arisan kelompok marga, sebagai pengurus marga, atau menghadiri pesta Batak (kecuali memang karena kelompok inti/ hasuhuton) yang menyelenggarakan hajatan.
Banyak di antara anak anak muda ini, yang menemukan jodohnya bukan orang Batak. Ketika mereka "diharuskan" mengikuti beberapa aturan adat, seperti diberi marga dan seterusnya, ini menjadi sesuatu formalitas yang tidak langgeng.17
Pengalaman dari Negara lain
Jepang adalah contoh yang baik. Negara ini ratusan tahun berada di bawah tradisi shogunate yang sangat kuat. Tetapi hampir semua tradisi tersebut kini telah ditinggalkan dan bertransformasi menyesuaikan dengan modernitas. Artefak artefak dan peralatan budaya zaman dulu paling paling ditemukan di museum museum seperti di The Heritage Edo-Tokyo Museum18.
Lihat saja gaya anak muda zaman sekarang. Kalau ingin momen perkawinannya diabadikan secara modern, mereka bisa pergi ke gereja di sekitar Kuil Asakusa Senso-Ji. Ada petugas gereja yang melayani upacara instan di situ. Mereka bisa lanjut berdoa ke arwah leluhur di kuil. Sambil tak lupa berselfie dengan capture menarik. Meninggalnya? Bisa juga secara tradisi agama Shinto.
Walaupun demikian, anak anak muda Jepang tidak kehilangan jiwa keluhuran dari nenek moyangnya seperti kerja keras, pantang menyerah, setia kawan, bertanggung jawab sampai tuntas (spirit bushido). Tetapi, mereka telah meninggalkan tata cara tradisi yang dianggap banyak irasional dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Mereka sangat kompetitif rasional. Substance over form
Paradigma marAdat
Paradigma marAdat harus dikembalikan kepada esensi yang sesungguhnya. Harus dapat dibedakan mana yang acara adat, mana yang bukan acara adat, tetapi dipaksakan seolah olah adat.
Konsepsi Restorasi dan Reformasi Adat
Konsepsi restorasi dan reformasi adat adalah untuk menjawab pertanyaan dasar, yaitu :
Apa itu esensi dan hakikat adat (apa lingkupnya, mana yang adat, mana yang diadatkan, mana yang bukan adat). Pertanyaan antologis ini harus dijawab tuntas dan jujur. Selanjutnya harus menjawab apa yang menjadi sumbernya, apa rujukannya, bagaimana strukturnya, bagaimana pelaksanaannya. Apakah kompleksitas acara pernikahan, adat meninggal orang tua, atau memberikan marga kepada non Batak, harus dilaksanakan secara tradisional atau dapat memanfaatkan kemajuan teknologi IT. Ini adalah pertanyaan pertanyaan yang bersifat epistemologis. Bagian terakhir dalam konsepsi adat adalah untuk menjawab secara aksiologis apa manfaatnya. Apakah misalnya mangulosi (memberikan kain ulos) adalah sebuah simbol semata atau itu adalah sarana dan prasarana berkah. Apakah upacara pernikahan, upacara pemberangkatan orang tua yang meninggal dan atau pemberian marga kepada non Batak merupakan cara untuk menjaga wibawa dan martabat adat, at any reasonable cost. Atau apakah ada berkah yang secara langsung atau tidak langsung diperoleh dari upacara tersebut.
Restorasi Adat adalah pemulihan dan pemurnian serta pengembalian esensi adat kepada yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan di atas, esensi adat adalah terpenuhinya hak hak dan kewajiban adat para pihak dalam unsur pemangku adat dalihan na tolu. Extended family dari parjambar na gok (yang berhak menunaikan kewajiban serta menerima hak adat) pada dasarnya bukanlah adat. Itu adalah pelencengan yang mengkompromikan adat dengan status sosial seseorang.
Reformasi Adat
Reformasi adat adalah pembaruan. Yang dibaharui bukan esensinya, melainkan tata caranya. Penyelenggaraan marAdat harus dapat memilah ends - means - ways. Ends (apa yang menjadi tujuan) - ways (cara, prosedur, tata laksana) - means ( sumber daya, instrumen, dana, waktu dan orang) yang terlibat untuk mencapai tujuan. Teknologi Informasi modern harus menjadi bagian dari instrumen adat. MarAdat yang sederhana dan substantif.
Hikmah Pandemik CoVid 19
Pandemik CoVid 19 telah membuka wawasan manusia mengenai organisasi, tata nilai, pemanfaatan teknologi, dan reinterpretasi substance over form. Dalam konteks kehidupan spritualitas misalnya, hadir ibadah on line. Semua serba on line. Ya ibadah on line, pemberkatan nikah on line, persembahan on line, perjamuan kudus on line. Ini semua sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Para theolog dan ahli memberikan pendapat dan interpretasinya yang pada intinya adalah cara-cara ini tidak sedikitpun mengurangi makna substantif beribadah.
Kalau dalam bidang tata cara melaksanakan ritual ibadah saja, dimungkinkan untuk perubahan, bukankah seyogianya di bidang pelaksanaan adat lebih mudah.
Bahwa yang menjadi pemicu adalah covid 19 itu betul. Ada hukum kedaruratan di sana. Namun dengan melihat praktikalitas, efisiensi, serta ditopang teknologi yang murah, aksessibel dan tersedia meluas seperti fasilitas applikasi fasilitas teleconference, membandingkan cost and benefit, serta outcomenya, tidak ada salahnya, pasca Covid 19, ketika kehidupan sudah berangsur normal, beberapa hal yang baik itu dipertahankan dan dikembangkan.
Momentum pandemik Covid 19, telah membuka persepsi, value, nilai dan praksis baru. Tidak terkecuali dalam marAdat. Arnold Toynbee, Sejarawan dan ahli di bidang Civilizations and Religions pernah berkata, hanya peradaban yang menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungannya yang akan bertahan19.
Beberapa Usulan Konkrit
Acara Pernikahan
* Acara yang mendahului pesta pernikahan, seperti mangarangrangi, marhusip dan martonggo raja, cukup dilakukan oleh keluarga inti. Terserah apakah akan dilaksanakan dengan tatap muka, atau dengan menggunakan media elektronik.
* Pemenuhan kewajiban adat (unjuk) dan prosesi kepada unsur dalihan natolu, kepada semua parjambar na gok, pemberian ulos dan seterusnya, dilakukan terpisah dan tersendiri
* Ikat janji/ martumpol (jika dianggap masih perlu), pemberkatan nikah dan pencatatan sipil untuk TIDAK dicampur baurkan dengan upacara adat
* Acara memestakan kedua pengantin dapat dilaksanakan dalam bentuk resepsi umum.
Upacara Meninggal Orang tua
* Acara martonggo raja/ berhimpun di rumah duka atau di tempat tinggal yang kemalangan yang disertai dengan makan bersama, seyogianya ditinggalkan. Itu akan sangat memberatkan bagi keluarga yang berduka secara ekonomi dan juga merepotkan.
* Pemberian gelar/ tingkat kehormatan kepada orang tua yang meninggal dunia, tidak diperlukan. Adanya tingkatan seperti meninggal sari matua, saur matua dan seterusnya tidak relevan lagi. Strata ini menyedihkan bagi orang tua yang meninggal dunia, tetapi tidak meninggalkan anak keturunan laki-laki20.
Upacara Mamampe (memberikan) marga
* Upacara atau acara memberikan marga kepada pengantin non Batak, sebagai persyaratan untuk dapat melaksanakan adat marunjuk (pemenuhan adat) tidak relevan.
* Sesuai hukum dalihan na tolu, hak hak dan kewajiban adat timbul adalah ketika terjadi pernikahan antar pria dan wanita yang membentuk keluarga baru. Kalau di pihak keluarga calon mempelai tersebut (pria atau wanita), memiliki adat dan tradisi tersendiri, kenapa harus secara artificial mereka "dibatakkan" hanya untuk sekadar menyelenggarakan pemenuhan hak hak dan kewajiban adat, kepada keluarga lama (hula hula dari orang tua mempelai yang menikah).
Terima Kasih
Penulis - Praktisi dan Pemerhati Acara Adat
Tinggal di Jakarta
Bahan bacaan/ referensi : A. Lumbantobing, Pdt. Dr. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Disertasi 1957 dengan judul asli "Das Amt in der Batak-Kirche", terjemahan BPK Gunung Mulia, 1992.
Arnold J. Toynbee, A study of history, Oxford University Press, 1987
BA Simanjuntak (ed) Pemikiran Tentang Batak, dalam rangka jubileum 125 tahun HKBP, Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986.
Gens G. Malau, Dolok Pusuk Buhit, Jakarta, 1997
Irwansyah Harahap, Hata ni Debata, Etnografi Kebudayaan Spritual - Musikal Parmalim Batak Toba, Semai, Medan 2016
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, 2004
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, 1988
Manguji Nababan, Torsa torsa hombung, CV Vanivan Jaya Medan, 2015
Olson & David R and Michael Cole (eds) Techology, Literacy and the Evolution of Society, Psychology Press, 2006
Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tombaga Holing, Adat Batak Patik Uhum, Penerbit Kerukunan Masyarakat Batak, Jakarta 2002.
SHW Sianipar, Tuho Parngoluon Dalihan Natolu - Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, CV Pustaka gama, Medan, 1991
William Marsden, Sejarah Sumatera, Komunitas Bambu, Jakarta, 2008
1 Imamat 25,4 : Setiap selang 7 tahun, tanah pertanian harus dibiarkan apa adanya tidak boleh diusahai.
2 Sampe Purba, Wajah Baru Dunia Pasca Corona https://www.senayanpost.com/wajah-baru-dunia-pasca-corona/
3 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, 2004
4 SHW Sianipar, Tuho Parngoluon Dalihan Natolu - Sistem Bermasyarakat Bangso Batak, Buku Pertama - Bab X Pertentangan Batak dan Agama, hal 178 - 186.
5 Keempat misi injil tersebut adalah Utusan Injil Gereja Baptis dari Inggeris 1820 (Burton CS), Utusan American Board of Commisioners for Foreign Mission 1834 (Lyman dan Musson), dan Utusan Injil Belanda 1857 (Van Asselt Cs) dan Utusan Injil Jerman RMG https://www.dictio.id/t/bagaimana-sejarah-masuknya-agama-kristen-ke-suku-batak
6 Keempat Penginjil atau misionaris tersebut adalah Pdt. Heine, Pdt Klemmer, Pdt. Betz, dan Pdt. Van Asselt. Ada yang menyebut, singkatan atau inisial nama mereka H-K-B-V yang belakangan menjadi HKBP, Huria Kristen Batak Protestan. Tahun berdiri organisasi gereja HKBP 1861 mengambil peristiwa kesepakatan rapat keempat tokoh tersebut. Pada tahun itu pula orang Batak pertama bernama Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar dibaptis oleh Pdt. Van Asselt di Sipirok. https://medan.tribunnews.com/2019/10/07/genap-berusia-158-tahun-berikut-sejarah-huria-kristen-batak-protestan-hkbp; https://pgi.or.id/gereja-anggota-pgi/ https://majalah.tempo.co/read/kolom/4053/pertamanya-bukan-di-silindung?
7 Irwansyah Harahap, Hata ni Debata, Etnografi Kebudayaan Spritual - Musikal Parmalim Batak Toba, Semai, Medan 2016
8 Pdt. Dr. A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Disertasi 1957 dengan judul asli "Das Amt in der Batak-Kirche", terjemahan BPK Gunung Mulia, 1992.
9 Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tombaga Holing Buku I - V, Adat Batak Patik Uhum, Penerbit Kerukunan Masyarakat Batak, Jakarta 2002.
10 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, 1988
11http://tabloidhoras.blogspot.com/2013/11/esensi-taruhon-jual-versus-dialap-jual.html; https://sitorusdori.wordpress.com/2009/12/11/patua-hata-dohot-marhusip/;https://www.aturduit.com/articles/tradisi-pernikahan-termahal/ ; https://www.hitabatak.com/tradisi-upacara-kematian-adat-batak-toba/
12 SHW Sianipar, ibid, buku 1 hal. 162
13 Gambaran kehidupan keseharian orang Batak zaman dulu, dapat dilihat pada berbagai cerita rakyat. Di antaranya adalah Manguji Nababan, Torsa torsa hombung, CV Vanivan Jaya Medan, 2015; Gens G. Malau, Dolok Pusuk Buhit 7, 1997
14 William Marsden, Sejarah Sumatera, Komunitas Bambu, Jakarta, 2008, hal. 337 - 359
15 https://kumparan.com/sampe-purba1545436375632/kremasi-peristiwa-budaya-atau-agama-1t7nAGbzgBs
16 Ada banyak buku dan penulis yang menyampaikan pandangannya. Namun pada umumnya semua ambivalen. Beberapa di antara buku itu adalah Pemikiran Tentang Batak, dalam rangka jubileum 125 tahun HKBP, editor BA Simanjuntak, Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986.
17Mengenai absurditas pemahaman pemberian marga ini dalam konteks pemenuhan adat dalihan natolu, dapat diikuti pada artikel kami dengan judul "Mamampe Marga, sebuah absurditas. http://pelitabatak.com/print/Mamampe-Marga--Sebuah-Absurditas---
18 Untuk pembaca yang ingin mendalami lebih jauh, dapat merefer Olson & David R and Michael Cole (eds) Techology, Literacy and the Evolution of Society, Psychology Press, 2006
19 Arnold J. Toynbee, A study of history, Oxford University Press, 1987
20 Sistem patrineal di tanah batak, aslinya adalah dalam konteks pewarisan. Orang tua yang meninggal dunia tanpa anak laki laki, maka warisannya akan beralih kepada Saudara terdekat. Model ini sudah tidak berlaku saat ini. Lalu untuk apa dipertahankan adat sari matua dan saur matua.
Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified