Mewujudkan keadilan sosial di negeri ini, harus mengacu pada Sila ke- 5 (lima) dari Pancasila, yakni "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Sehubungan dengan ini, Soekarno menyatakan bahwa "Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya".
Dengan mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Pernyataan ini, seyogianya tidak dipandang dari kecenderungan utopismenya, melainkan dari segi tekadnya yang kuat untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan sosial di seberang jembatan emas kemerdekaan. Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laissez-fair yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang disebabkan oleh kolonialisme.
Titik tumpu pencapaiannya dipercayakan kepada sosialisme yang bersendikan semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa individu-individu tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis, yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam konteks yang lebih luas, keadilan sosial tidak sebatas masalah distribusi ekonomi, melainkan mencakup keseluruhan dimensi moral dalam penataan politik, hukum maupun aspek kemasyarakatan lainnya.(R2)