SELAMA ini SAHALA di kalangan Batak Toba dianggap sebagai Roh orang yang sudah wafat, oleh karenanya sering diidentikkan sebagai “si pele begu†atau menyembah roh leluhur atau orang yang sudah meninggal (berhala), dan oleh karenanya dianggap bertentangan dengan agama.
Ternyata, Sahala diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah kemuliaan, kharisma, hikmat, kesaktian, wibawa, kebesaran otoritas yang dipunyai seseorang yang tercermin dari ucapan yang sesuai dengan perilaku dan perbuatan serta diakui oleh lingkungannya.
Sahala adalah kebajikan dan kebaikan yang dilakukan seseorang untuk kebaikan yang diakui oleh masyarakat dan lingkungannya, di mana orang namarSahala adalah orang yang dalam bahasa Batak disebut sebagai “par lage-lage so balunonâ€, parsangkalan so ra mahiang, partataring so ra mintop†(bertikar yang tidak pernah digulung, bertalenan yang tidak pernah kering, dan perapian yang tidak pernah padam) karena sering menerima tamu dengan senang hati menjamunya, sehingga tikarnya selalu tergelar utuk diduduki, selalu menyediakan lauk dan memasak.
Hal tersebut terungkap dari pemaparan Pendeta Dr. Riris Johana S.Th., M.Th., dalam Webinar yang diselenggarakan Forum Diskusi Grup Batakologi yang diikuti pegiat budaya dan pemerhati peradaban Batak, Rabu malam (23/3) dengan host Dr. Benny Pasaribu dan moderator Dr. Pirma Simbolon, yang juga diikuti Prof. Bostang Radjagukguk dari Pert, Australia.
Banyak ahli memberikan arti terhadap Sahala yang terdapat dalam kebudayaan Batak Toba dan banyak pendapat dari peserta yang mengatakan tidak ada kata yang cocok, karena cakupan Sahala lebih luas dari sekedar kharisma dan wibawa, yang menurut Pdt. Dr Riris Johana Siagian seseorang yang “na marsahala†adalah orang yang taat menjalankan agama dan kepercayannya sehingga berkaitan dengan par-“tondiâ€-on (roh) yang diperoleh dari Sang Pencipta.
Atas pertanyaan Dr. Dahlena Sari Marbun, dosen USU, apakah Sahala bisa dipelajari? Walaupun dijelaskannya bahwa Sahala itu seperti “primus interpares†(yang pertama diantara yang sederajat).
Dengan rinci Dr. Riris Siagian, dosen STT HKBP Pematang Siantar ini mengatakan, bahwa Sahala tidak bisa dipelajari, karena Sahala adalah anugerah atau pemberian Ilahi yang dimiliki seseorang, selama ia jujur dan iklas menjalankan kebaikan dan kebajikan.
Menurut Dr. Riris, dalam Bibel Bahasa Batak ada 34 kata Sahala, mulai dari Kejadian sampai Wahyu, dan semua adalah menyangkut hak dan kekuasaan yang dimiliki orang yag hidup, seperti halnya “Sahala sihahaan si Esau dilean tu si Jakob†(hak kesulungan Esau diserahkan ke Jakub).
Bahkan Pendeta Riris mengatakan bahwa Sahala itu grace, anugerah Tuhan yang ada dalam diri orang percaya, hanya bisa diperoleh sesuai dengan ajaran agama kepercayaannya. Anugerah tidak bisa dibeli. Yang menjadi masalah saat ini adalah pemilihan para pemimpin yang sering tidak marSahala, sehingga membawa akibat dalam kepemimpinannya. Maka para pemuka masyarakat untuk memperhatikan masalah seseorang namarSahala untuk dipilih sebagai pemimpin. Sebab ada kecenderungan akhir-akhir ini seseorang yang menjadi pemimpin tetapi tidak memperhatikan Sahala yang bersangkutan.
Sahala itu dapat dilihat dari Raja Sisingamangaraja di mana dia diakui masyarakat Batak sebagai pemimpin namarSahala, bahkan apabila dia mengunjungi atau melintasi satu daerah semua orang yang tertawan dibebaskan. Sebagaimana diketahui Sisingamangaraja disebut sebagai Raja namarSahala, sipartogi, raja sipartangiang, penegak hukum.
Menurut Pendeta Riris, kalaupun ada yang mengatakan “sai manghorasi ma sahalamu†bukan memuja roh yang meninggal, melainkan menghormati kebaikan dan kebaikan yang telah dilakukan semasa hidupnya kiranya bisa diikuti dan dipedomani keturunannya.
Adalah keliru apabila disebutkan memuja Sahala orang mati, sebab sesuai dengan ajaran orang Kristen terutama HKBP, tidak ada hubungan orang yang sudah mati dengan orang yang masih hidup. Artinya orang yang sudah mati tidak mungkin memberi berkat kepada orang yang masih hidup.
Lebih lanjut Dr. Riris mengemukakan tidak semua pemimpin mempunyai sahala baik di gereja. Kalau dulu para datu atau sibaso dianggap memiliki sahala, yang sekarang seharusnya digantikan oleh para pemimpin umat, tetapi tidak serta-merta Sahala itu dipunyai para pendeta.
Menurut Dr. Riris dari sejumlah Ephorus ada dua yang memiliki Sahala yaitu Ephorus pertama Ompui K. Sirait dan Ephorus Ompui Justin Sihombing.
Belakangan menurut Dr. Riris Siagian, bahwa karakter Habatahon sekarang ini sudah sangat longgar, membuat orang namarSahala sulit tampil sebagai pemimpin, akibatnya banyak pemimpin tidak memiliki kharisma dan karakter karena tidak memiliki spritualitas.
Sebab tidak mungkin seorang korupsi atau pencuri memiliki Sahala, sebagai orang namarSahala harus memberi suri tauladan kepada masyarakat dan sesuai ucapan dengan perbuatan. Taat Patik dan Uhum. Maka disebut “ndang jadi manangko, jala ndang jadi hatangkoan: (tidak boleh mencuri dan jangan kecurian), artinya harus taat hukum, janji, etika dan moral.
Oleh karenanya tidak ada kaitan Sahala dengan “Si Pele Beguâ€, karena Sahala itu adalah yang dimiliki orang baik dan benar dalam hidupnya, bukan karena jabatan, pangkat atau kekayaan, akan tetapi Sahala adalah kharisma, wibawa yang dimiliki seseorang sebagai anugerah.
Ditambahkannya, Sahala juga bisa bertambah dan juga bisa berkurang tergantung pada kelakuan orang yang bersangkutan, apakah dia tetap konsisten pada anugerah yang dimilikinya atau tidak?
Webinar yang cukup menarik tersebut cukup memberikan pencerahan dengan berbagai tanggapan positif dari para tokoh peserta yang hampir semua memperkuat pemaparan Pendeta Riris Johana Siagian tersebut.***
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.