Mamampe Marga, Sebuah Absurditas ?

Administrator Administrator
Mamampe Marga, Sebuah Absurditas ?
Ist
Sampe Purba

Oleh: Sampe Purba


Dewasa ini sering kita baca di medsos bahwa pelaksanaan adat batak itu sangat kompleks, ribet, berbiaya mahal tetapi miskin substansi.


Anehnya, banyak yang mengeluhkan, namun tidak mau memulai/ mempelopori pembaharuan. Malah ketika mereka yang menjadi host, cenderung justru membuat lebih kompleks. Salah satu contohnya adalah dalam pelaksanaan pernikahan yang mempelai pengantinnya berbeda suku/ kultur/ bangsa


Sejalan seiring dengan pergaulan antar budaya yang meningkat, tidak dipungkiri banyak juga terjadi pernikahan antar suku. Bahkan dengan warga negara lainnya. Orang Batak juga tidak terkecuali, baik sebagai pengantin pria ataupun pengantin wanita. 


Misalkan seorang pria non Batak, hendak menikah dengan wanita Batak, dan pihak orang tua wanita mengharapkan pernikahan tersebut dilangsungkan secara adat penuh (adat na gok). Maka untuk memenuhi persyaratan/ formalitas,  si calon pengantin pria lebih dahulu diberikan marga. Bukan sekedar marga tituler. Tetapi seolah dipersamakan dengan marga asli ala naturalisasi.


Biasanya, salah satu saudari perempuan beserta suaminya,  dari Bapak si pengantin wanita, akan berperan sebagai orangtua adat (bukan hanya sekedar wali) dari pria non Batak tadi. Si calon mempelai pria lebih dahulu  diain/dipampe/dipaampuhon/ diberi marga oleh kerabat pihak marga suami Saudari Bapak si Pengantin wanita (pihak amangborunya) yang dipilih  dan disepakati (dalam hal terdapat banyak Amangborunya).


Pemberian marga ini, tidak hanya melibatkan kerabat dekat Amangborunya, tetapi meluas hingga ke Pimpinan kesatuan marga di daerah tinggal si wanita (mis. Persatuan Marga X se Jabodetabek). Upacara "pentahbisan" marga itu merupakan satu hajatan tersendiri (dan perlu waktu, tenaga serta biaya kenduri yang tidak sedikit). 


Ketika tiba saatnya untuk melaksanakan pesta adat, maka suami dan saudari perempuan dari orangtua mempelai wanita akan bertindak sebagai orangtua mempelai pria untuk memenuhi kewajiban adat (manggarar adat na gok), dengan didampingi para kerabatnya. 


Dengan demikian, menurut anggapan dan pemahaman umum, si pria non Batak tadi telah sah diterima dalam perkerabatan batak (relasi keluarga dalihan na tolu) dengan segala implikasinya. 


Praktek dan cara ini dalam beberapa hal dapat dipandang terlalu absurd, artificial, dangkal makna serta lebih merupakan penghamburan sumber daya yang tidak perlu. Argumen ini didasarkan pada hal-hal berikut : 


1. Marga bagi orang Batak adalah identitas yang diwarisi dari orangtuanya serta akan diwariskan kepada anak cucunya. Pertanyaannya, kalau kelak ada lahir  anak anak  lelaki dari pria non Batak yang diberi marga tadi, apakah mereka akan otomatis mewarisi "marga" naturalisasi dari Ayahnya ?. 

Jawabnya adalah tidak. 


Sekiranya anak anak ini menikah pula kelak dengan wanita Batak, pihak orangtua wanita akan menuntut pula untuk ditahbiskan marga. Kan jadi aneh. Satu orangtua yang sudah dimargakan, memiliki dua anak pria yg menikah dengan wanita batak dari keluarga keluarga yang berbeda. Masing masing meminta dimargakan pula. Berarti satu orang tua, memiliki dua anak lelaki dengan marga yang berbeda.


2. Si mempelai pria yang dimargakan dan "diangkat" anak oleh pihak Amangboru si wanita, pada dasarnya tidak memiliki hak dan kewajiban adat yang sama dengan anak anak kandung orangtua/ wali adat tersebut, seperti hak waris, posisi relasi dalihan natolu dengan seluruh kerabat marga orangtua/ wali adat dll.


Dia hanya "dibatakkan" sekedar untuk memenuhi formalitas. Termasuk di dalamnya, agar pihak keluarga mempelai wanita dapat membagikan sinamot/ mahar kepada kerabat sesuai dengan praktek adat yang umum


3. Ada kalanya si mempelai pria pada dasarnya telah memiliki marga/ family name juga. Beberapa suku di Nusantara, juga di luar negeri memiliki marga tersendiri. Apakah demi memenuhi kewajiban adat  kepada keluarga mempelai wanita, dia harus menerima marga lagi ?. 


4. Itu akan memberatkan dua kali secara finansial bagi si mempelai pria (dan orangtua kandungnya). 

Untuk urusan memargakan, mereka akan menanggung biaya kendurinya. Sementara pihak Amangboru yang akan menjadi wali adat nanti, biasanya tidak dibebani urunan. Bahwa mereka berkenan menyediakan waktu, membujuk/ mangontang kerabat dan kumpulan marganya juga sudah harus disyukuri.


Selanjutnya untuk melaksanakan acara adat na gok, mulai dari marhusip hingga pesta unjuk, akan keluar lagi biaya sebagaimana normalnya kalau pasangan orang batak menikah. 


Saran :

Saya berpendapat dalam hal ada pria non batak menikahi wanita Batak, maka pilihannya dua, yaitu :


1. Tidak perlu harus ditahbiskan dengan tata cara adat Batak. Kita ikuti saja tata cara adat yang berlaku di pihak keluarga pria. Itu juga sah dan beradat kok. 


2. Dalam hal harus diadatkan secara adat Batak, si mempelai pria tidak perlu harus diberi marga terlebih dahulu. Cukuplah secara tituler kewajiban adat yg mendasar (sinamot/ mahar) dan hingga penerima parjambar na gok yg dilaksanakan antar keluarga inti. Pihak Amang boru dapat bertindak sebagai wali sekadar untuk memperlancar saja, namun yang menerima ulos pansamot tetap kepada keluarga kandung pria non batak itu.


Selebihnya, syukuran perayaan pernikahan dapat dilaksanakan secara resepsi nasional


Jakarta,   Agustus 2019


Sampe Purba - Penikmat adat substantif

Komentar
Berita Terkini