Anak Manjae

Administrator Administrator
Anak Manjae
ist
Sampe L Purba
Oleh : Sampe L. Purba


Dalam pesta-pesta orang Batak (Toba) kita sering mendengar "hula hula anak manjae". Hula-hula tentu kita mengerti maksudnya, yaitu marga keluarga pihak isteri. Lalu anak manjae ?. Tulisan ini akan mengulas sedikit tradisi dan makna filosofis di balik kata "manjae".  


Pepatah Batak berbunyi : Anak lahir dibesarkan, anak besar dinikahkan, setelah itu dipajae. Tubu anak dipagodang, magodang anak dipangolihon, dung mangoli dipajae. Dahulu, manjae adalah salah satu tahapan penting dalam pembentukan kemandirian keluarga. Itu adalah bagian dari siklus ritual tanggung jawab orang tua. Disebut hingga anak mentas dalam tradisi Jawa. Sebetulnya manjae ada dua, yaitu manjae waktu kecil (disapih - sirang manarus), dan manjae setelah berumah tangga yaitu mandiri, memiliki tungku/ tataring sendiri. 


Zaman dahulu, di pedesaan acara pajaehon/ memandirikan anak yang baru membentuk keluarga terkadang rumit. Orangtua terkadang enggan segera 'pajaehon' anak. Alasannya macam macam. Misalnya,  agar lebih banyak mendapat nasihat dan bimbingan rumah tangga, atau tenaga anak dan menantu masih diperlukan untuk membajak sawah dan mengerjakan tugas tugas rumah tangga dan sebagainya. Salah satu di antaranya adalah karena kepada anak yang baru berumah tangga tersebut harus disisihkan sebagian sawah dan ladang untuk menjadi warisan dan modal awal "mangalugahon" rumah tangganya. 


Di daerah daerah yang lahan dan kebon sempit serta tidak seberapa, ini bukan perkara mudah. Bayangkan satu keluarga memiliki 10 anak misalnya. Tentu kesepuluh anak ini harus mendapat bagian. Sementara ladang dan sawah orang tua tersebut sangat terbatas. Untuk 'manonga-nongai'/ menengahi, terkadang pada saat pajaehon, pihak pamoruon atau natua-tua di huta diajak ikut urun rembug. 

Setelah dipajae, keluarga baru tersebut mungkin masih ikut nompang di rumah orangtua. Dapurnya dibagi. Tataring/ tungku terpisah. Keluarga baru ini harus giat bekerja. Si suami terkadang harus pergi gajian/ menjadi orang orang upahan ke daerah lain. Daerah Dairi ataau Silindung yang subur adalah tempat favorit tujuan menjadi orang upahan orang orang Humbang di tahun 1960 an.Tidak ada waktu untuk berbulan madu. Tarhona mai !


Hasil marpadot dan marsikkor-sikkor sedikit demi sedikit dikumpulkan sehingga dapat memberangkatkan tukang untuk mengetam kayu ke hutan sebagai bahan bangunan. Bangunan sederhana didirikan, menempel ke rumah induk (jabu manusu). Tetapi keluarga baru ini sudah bangga. Mereka sudah mandiri manjujung baringinna, sibirongi hudonna be. Orangtua wanitapun akan senang mengunjungi boru/ helanya keluarga baru tersebut. Lama-lama ketika keluarga baru ini rajin bekerja, hemat, memelihara beberapa indukan hewan, menjadi orang upahan, marrengge-rengge di pasar dan seterusnya... marlomak apapaga, mereka pun dapat mendirikan rumah. Walau hanya beratap rumbia dan berdinding arung, tetapi itu sudah merupakan sebuah lompatan besar, dalam hidup keluarga muda ini. Mertuanyapun datang lagi dengan sanak keluarga terdekat, ikut mensyukuri rumah baru yang didirikan keluarga ini. .... Sang hela... sambil marrude rude bernyanyi .... di na ro simatuakku mandulo boru nai ... diboan do dekke jahir nasa i..... Mereka telah mandiri sebagai anak manjae. 


Bagaimana dewasa ini ?


Di beberapa kecamatan tradisi di atas masih ada. Tentu seiring dengan kemajuan zaman, variasi baru telah ada. Anak anak tidak lagi sepenuhnya tergantung dan mengandalkan sawah orang tua. Ada anak yang sudah pegawai, dan isterinyapun bekerja. Dan seterusnya. 


Seorang anak - di zaman modern ini, tidak tertutup kemungkinan membiayai sendiri seluruh biaya pernikahannya, ya biaya unjuk - resepsi - dan sinamot (mahar/ tuhor/ boli ni boru muli). Tetapi terlepas dari itu, orang tuanya yang tetap berperan sebagai Pansamot, yang menerima ulos pansamot dari orangtua pengantin wanita. Pansamot - sinamot - samot. Samot = harta yang dikumpulkan (dipaiduk-iduk) untuk tujuan baik. Mangamoti = Syukuran memakan hasil padi perdana setiap musim panen.  


Bagaimana kalau anak tinggal, menikah dan bekerja di kota, di mana orang tua yang datang dari bona pasogit untuk pangolihon anaknya di tano parserahan seperti Jakarta ini. Apakah tradisi pajaehon itu masih ada ?


Saya akan memaparkan pengalamanku saja (back to more than twenty years a go). 


Setelah pesta usai, orang tua kami masih tinggal beberapa waktu lamanya di Jakarta, sambil mamoda modai/ membimbing  kami sebagai keluarga baru. Satu waktu, seusai makan malam orang tua kami memberi nasehat, kira kira begini. 


Tu hamu anak dohot parumaen nami sihahaan (Kepada anak dan mantu kami yang sulung), dalam beberapa hari lagi sesuai kesepakatan kita, kami akan kembali ke kampung. Sebagai orang tua kami akan pajaehon kalian. Ijazam dohot SK mi do panjaeanmu anaha. Alai songon tambana, secara simbolis dituhor simatuamuna  do sa set piring dan mangkuk dari Pasar Senen. Sai dapot muna ma mual natio  dohot dalan ni ngolu-ngolu. Ndion muse lage lage (tikar). Ikkon partamue do ho parumaen, na las roha pahembang lage. Tambana muse, ndion ma tandok. Marlapatan mai asa ringgas hamu tu adat. Hamu na ma situtupi adatmuna. Polin jala maradat situtu do parrumatanggaon i. Doakanlah kami orang tuamu serta seluruh anggi, lae nang ibotom dimanapun mereka berada. Semoga kita sehat sehat, asa boi dope berengon nami akka pangabahanmuna sipasahaton ni Tuhani marhite pasu pasuna tu joloan on. Ianggo nahupukka hami i di tikkina haduan, sai hipas-hipas ma, denggan do sagihononnami i tu hamu sude gelleng nami ia dung marhasohotan be sude hamu. 


Kira kira demikianlah penyampaian orang tua kami. 


Selain anak yang manjae, dalam tradisi keluarga orang Batak,  ada juga anak yang tidak perlu dipajae. 


Hal ini akan Penulis bahas pada seri tulisan berikutnya. 


Horas tondi madingin


Jakarta,     Mei 2020

Komentar
Berita Terkini