Hasil marpadot dan marsikkor-sikkor sedikit demi sedikit dikumpulkan sehingga dapat memberangkatkan tukang untuk mengetam kayu ke hutan sebagai bahan bangunan. Bangunan sederhana didirikan, menempel ke rumah induk (jabu manusu). Tetapi keluarga baru ini sudah bangga. Mereka sudah mandiri manjujung baringinna, sibirongi hudonna be. Orangtua wanitapun akan senang mengunjungi boru/ helanya keluarga baru tersebut. Lama-lama ketika keluarga baru ini rajin bekerja, hemat, memelihara beberapa indukan hewan, menjadi orang upahan, marrengge-rengge di pasar dan seterusnya... marlomak apapaga, mereka pun dapat mendirikan rumah. Walau hanya beratap rumbia dan berdinding arung, tetapi itu sudah merupakan sebuah lompatan besar, dalam hidup keluarga muda ini. Mertuanyapun datang lagi dengan sanak keluarga terdekat, ikut mensyukuri rumah baru yang didirikan keluarga ini. .... Sang hela... sambil marrude rude bernyanyi .... di na ro simatuakku mandulo boru nai ... diboan do dekke jahir nasa i..... Mereka telah mandiri sebagai anak manjae.
Bagaimana dewasa ini ?
Di beberapa kecamatan tradisi di atas masih ada. Tentu seiring dengan kemajuan zaman, variasi baru telah ada. Anak anak tidak lagi sepenuhnya tergantung dan mengandalkan sawah orang tua. Ada anak yang sudah pegawai, dan isterinyapun bekerja. Dan seterusnya.
Seorang anak - di zaman modern ini, tidak tertutup kemungkinan membiayai sendiri seluruh biaya pernikahannya, ya biaya unjuk - resepsi - dan sinamot (mahar/ tuhor/ boli ni boru muli). Tetapi terlepas dari itu, orang tuanya yang tetap berperan sebagai Pansamot, yang menerima ulos pansamot dari orangtua pengantin wanita. Pansamot - sinamot - samot. Samot = harta yang dikumpulkan (dipaiduk-iduk) untuk tujuan baik. Mangamoti = Syukuran memakan hasil padi perdana setiap musim panen.
Bagaimana kalau anak tinggal, menikah dan bekerja di kota, di mana orang tua yang datang dari bona pasogit untuk pangolihon anaknya di tano parserahan seperti Jakarta ini. Apakah tradisi pajaehon itu masih ada ?
Saya akan memaparkan pengalamanku saja (back to more than twenty years a go).
Setelah pesta usai, orang tua kami masih tinggal beberapa waktu lamanya di Jakarta, sambil mamoda modai/ membimbing kami sebagai keluarga baru. Satu waktu, seusai makan malam orang tua kami memberi nasehat, kira kira begini.
Tu hamu anak dohot parumaen nami sihahaan (Kepada anak dan mantu kami yang sulung), dalam beberapa hari lagi sesuai kesepakatan kita, kami akan kembali ke kampung. Sebagai orang tua kami akan pajaehon kalian. Ijazam dohot SK mi do panjaeanmu anaha. Alai songon tambana, secara simbolis dituhor simatuamuna do sa set piring dan mangkuk dari Pasar Senen. Sai dapot muna ma mual natio dohot dalan ni ngolu-ngolu. Ndion muse lage lage (tikar). Ikkon partamue do ho parumaen, na las roha pahembang lage. Tambana muse, ndion ma tandok. Marlapatan mai asa ringgas hamu tu adat. Hamu na ma situtupi adatmuna. Polin jala maradat situtu do parrumatanggaon i. Doakanlah kami orang tuamu serta seluruh anggi, lae nang ibotom dimanapun mereka berada. Semoga kita sehat sehat, asa boi dope berengon nami akka pangabahanmuna sipasahaton ni Tuhani marhite pasu pasuna tu joloan on. Ianggo nahupukka hami i di tikkina haduan, sai hipas-hipas ma, denggan do sagihononnami i tu hamu sude gelleng nami ia dung marhasohotan be sude hamu.
Kira kira demikianlah penyampaian orang tua kami.