Saya memfokuskan tulisan ini pada paradoks kebangkitan agama yang sedang terjadi di Indonesia. Kita semua pasti berharap kebangkitan agama seharusnya memberi efek positif bagi kehidupan personal dan sosial. Dalam kenyataannya ternyata kebangkitan agama juga melahirkan anak haram yang menciptakan efek negatif, bahkan berpotensi destruktif. Sehubungan dengan itulah maka kebangkitan agama ini telah memantik paling sedikit dua efek negatif. Keduanya berkaitan dengan moralitas. Efek negatif pertama adalah ini. Mengingat kaitan erat antara agama dan moralitas, orang pun bertanya: apakah kebangkitan agama ini memberi pengaruh signifikan terhadap kebangkitan moral manusia Indonesia? Jawab saya tegas: belum signifikan! Kita tahu bahwa praktek kekerasan dan ujaran kebencian atas nama agama terhadap komunitas yang berbeda masih sering terjadi. Artinya kebangkitan agama malah tidak berkontribusi bagi penguatan kohesi bangsa. Contoh lain! Kebangkitan agama pun belum memberi pengaruh signifikan pada penurunan tingkat korupsi. Memang orang lebih rajin ke gereja, mengunjungi mesjid, vihara, sinagog atau apa pun, tetapi korupsi tetap lancar. Jelang Pilkada atau Pemilu, bantuan sosial, dan mungkin kini termasuk dana Covid-19, sering dikorup untuk membeli suara.
Menurut Transparency International, peringkat korupsi Indonesia masih sangat tinggi, berada di posisi 85 dari 180 negara. Hari ini indeks persepsi korupsi Indonesia ada di skor 40, alias mengalami kenaikan dua tingkat dari tahun 2018. Meski ada perbaikan, ironisnya KPK justru 'dipasung'. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK pun langsung menurun tajam! Sekarang ini hampir tidak ada lagi lembaga pemerintah yang secara moral dipercaya masyarakat! Artinya, sungkan saya mengatakannya, masyarakat tidak percaya pada pimpinan politik dan para pengelola institusi negara.
Kebangkitan agama menandai gejala negatif lain yaitu penggumpalan identitas berdasarkan agama. Pada masa lalu, orang dikenal dengan identitas etniknya. Kini, identitas agama lebih mendominasi daripada identitas etnik. Bahkan, banyak orang lebih menekankan identitas agamanya daripada identitas nasionalnya. Identitas agama ini dimunculkan dalam berbahasa, busana, makanan, kosmetik dan dalam berbagai bidang lainnya. Ketika kita terjun ke tengah masyarakat suasana kami dan mereka sangat terasa. Di sekolah dan universitas pun, para pelajar kita lebih banyak dicekoki dengan ajaran agama yang menekankan bahwa "kami berbeda dengan mereka.'
Lalu, masih adakah identitas dan kebanggaan nasional? Masih ada! Tetapi, munculnya hanya sesekali, terutama saat olahragawan, kesebelasan sepakbola kita, atau seniman kita berhasil meraih prestasi tingkat dunia. Kita pun bergandengan tangan merasa menjadi satu. Menjadi Indonesia! Di luar event itu, tidak ada bekasnya sama sekali! Orang balik lagi ke bilik primordialismenya masing-masing.
Primordialisme agama menciptakan ukuran moralitas internalnya sendiri. Pengikutnya dituntut menjadi umat yang baik. Bukan menjadi manusia yang baik atau paling tidak, menjadi warga negara yang baik. Seharusnya umat yang baik adalah warga negara yang baik dan menjadi orang baik. Kenyataannya justru dipertentangkan. Umat yang baik hanya peduli pada komunitas agamanya saja. Hanya berjuang demi kepentingan agamanya saja. Eksklusif! Tidak ada tuntutan moral inklusif yaitu bersikap baik bagi semua dan bagi bangsa ini. Ukuran moralitas pun mengalami kekacauan! Seperti pesakitan yang mengalami penyempitan saluran jantung, Ukuran moralitas pun mengalami penyempitan: hanya untuk dan demi 'kalangan' sendiri.
Kita semua harus serius dengan paradoks kebangkitan agama yang justru menciptakan eksklusifme sempit, dan yang berpotensi menciptakan bunuh diri sosial bagi generasi bangsa kita di masa mendatang!
Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified