LANGKAH politik Gibran Rakabuming
Raka (Gibran) maju sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi
bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto (Prabowo), bukan kejadian luar
biasa. Gibran menduplikasi sempurna proses politik bapaknya, Presiden Joko
Widodo (Jokowi). Oleh PDIP, Jokowi yang belum selesai tugasnya sebagai
walikota, ditarik dari Solo, didorong maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta.
Pasca menjadi Gubernur DKI
Jakarta, Jokowi lalu didorong (lagi) oleh PDIP bertarung sebagai calon
presiden. Jokowi (dipaksa) bertarung menjadi capres meski baru 2 tahun menjadi
gubernur DKI Jakarta. PDIP menjadi pelopor utama sekaligus fasilitator proses
kesusu Jokowi meraih kekuasaan
politik. PDIP pun larut dalam euforia, menyebut Jokowi sebagai kader terbaik,
dijadikan role model kepemimpinan
nasional.
Pilihan Gibran kesusu menjadi bacawapres Prabowo, bukan
pengkhianatan, juga bukan aji mumpung. Gibran hanya sedang
melakoni proses yang lebih cepat dari
proses Jokowi. Gibran menunjukkan bahwa langkah anak harus lebih baik dan lebih
cepat dari bapaknya. Anak presiden (Gibran) tidak boleh kalah sama anak orang
biasa (Jokowi). Jika anak orang biasa (Jokowi) mampu 2 kali mengalahkan mantan
menantu presiden, anak mantan menteri (Prabowo), maka Gibran (anak presiden)
memilih langkah bijak bukan melawan Prabowo, namun menjadi juruselamat politik,
penentu kemenangan Prabowo di Pilpres 2024. Air mata duka dan luka Prabowo dan
pendukungnya yang kalah dalam Pemilu 2014, dan 2019, diseka dan dihapus Gibran.
Gibran bin Jokowi, menjadi satu-
satunya orang yang dapat memberi harapan dan jaminan bagi Prabowo untuk
mewujudkan mimpinya, menjadi macan asia.
Gibran menunjukkan dirinya memiliki kapasitas, dan layak untuk menjadi wakil presiden. Gibran haqqul yakin pasti menang jika
berpasangan dengan mantan menantu presiden Soeharto, penguasa orde baru
(Prabowo). Mengapa Gibran bertarung tanpa PDIP? "Karena Gibran tidak mau
sama dengan bapaknya, yang setiap saat disebut petugas partai"! Gibran tidak mau dikuyo- kuyo dengan sebutan petugas partai di depan khalayak ramai,
seperti Jokowi.
Senjata Makan Tuan PDIP
Meski belum berani melakukan
perang terbuka, elit PDIP dipastikan marah
kepada Jokowi dan keluarganya. Elit PDIP mulai mengungkit jasa politik kepada Jokowi dan
keluarganya. Cap penghianat, kacang lupa
kulitnya, tidak tau diri, dan tidak tau berterima kasih, mulai, dan akan terus dilekatkan kepada Jokowi dan
keluarganya. Namun PDIP masih menahan diri, sedang melakukan kalkulasi politik, karena melakukan
perang terbuka kepada Jokowi saat ini, akan merugikan PDIP. Para elit PDIP,
resah, galau, kesal, marah, sementara Jokowi dan keluarganya santai dan santuy saja menikmati proses
bersama badut- badut politik, pimpinan partai dan relawan pemujanya, yang
penting asal lurah senang (ALS).
Sikap dan tindakan Gibran harus
dimaknai sebagai kritik terhadap sistem demokrasi
internal PDIP. Sekaligus menjadi tamparan
keras dan alarm kepada PDIP agar berubah atau tergilas zaman. Saatnya
elit PDIP menanggalkan dan meninggalkan feodalisme dan kultus individu. Elit
PDIP sekian lama menikmati keuntungan dengan bersikap asal ibu senang (AIS) dengan slogan loyalitas tanpa batas.
Penggunaan istilah tegak lurus dan demokrasi terpimpin, yang selalu
digaungkan elit partai, kini ambruk dan berantakan akibat ulah anak kecil (istilah Panda Nababan),
Gibran. Perlakuan istimewa PDIP kepada Jokowi dan keluarganya, menjadi senjata makan tuan. PDIP pasrah dan tega
membunuh karir politik kader- kadernya demi memenuhi ambisi dinasti politik dan kekuasaan putra sulung Jokowi, Gibran dan menantu Jokowi, Bobby
Afif Nasution, yang kesusu maju
sebagai calon walikota.
Akhyar Nasution, Walikota Medan
petahana (kader dan Wakil Ketua DPD PDIP Sumatera Utara) saat itu, dipecat dan
disebut penghianat oleh elit PDIP demi tersedianya karpet merah buat menantu Jokowi, Bobby. Demikian juga dengan
Achmad Purnomo, yang semula telah diputuskan sebagai calon walikota Solo
akhirnya pasrah namanya diganti putra mahkota Jokowi, Gibran yang kesusu maju jadi walikota Solo. Purnomo
yang ditawari jabatan di Pemerintah Pusat oleh Jokowi, menolak, sementara
Akhyar Nasution memilih melawan
dengan bertarung di Pilkada kota Medan menghadapi menantu Jokowi.
Perlakuan adanya anak emas dan
anak tiri di PDIP tidak hanya buat keluarga Jokowi. Para elit PDIP juga kerap
melakukannya terhadap anak, istri, menantu, keluarga, kerabat, dan kolega
masing- masing di setiap level dan tingkatan. Banyak kader- kader militan, yang
berjuang membesarkan partai, dibunuh karir politiknya demi circle elit PDIP. Partai terkesan hanya milik pengurus dan circle
nya, sehingga para kader tanpa posisi pada struktur tidak memiliki akses
terhadap informasi, kegiatan, dan hal lain terkait partai.
Sementara para penghianat partai dari berbagai partai lain, diberi karpet merah di PDIP.
Bahkan kader penghianat partai yang
pernah dipecat PDIP, lalu pindah ke partai lain, dan selalu menjadi lawan
politik PDIP, kini kembali menjadi elit PDIP. Maka penghianatan Gibran menjadi karma politik dari para kader yang
karir politiknya dimatikan PDIP. Dari mereka yang berjuang membangun dan
mempertahankan partai dari berbagai tekanan, namun tidak dihargai, bahkan
dikucilkan elit PDIP.
Dengan Atau Tanpa Jokowi: Hattrick
Pemilu pertama pasca reformasi,
tahun 1999, PDIP sebagai kelanjutan dari PDI ( partai hasil fusi PNI, Parkindo,
Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba), berhasil menjadi pemenang
pertama. Pada Pemilu kedua, tahun 2004, PDIP pemenang kedua, selanjutnya pada
Pemilu 2009, PDIP pemenang kedua. Pemilu 2014 (sebelum Pilpres), PDIP pemenang
pertama, sedang Pemilu 2019 (bersamaan dengan Pilpres), PDIP menjadi pemenang
pertama. Fakta tersebut membuktikan bahwa kemenangan PDIP dalam Pemilu tidak
hanya ditentukan oleh calon presiden. Kemenangan dalam Pemilu ditentukan oleh
kemampuan PDIP membujuk dan meyakinkan rakyat, bahwa PDIP menjadi saluran
aspirasi dan suara rakyat.
Jika PDIP ingin hattrick, memenangi Pemilu (Pileg dan
Pilpres 2024) untuk ketiga kalinya seperti Pemilu 2014 dan 2019, dengan atau
tanpa Jokowi, maka PDIP harus melakukan hal- hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa PDIP
sebagai kelanjutan perjuangan dari PDI yang merupakan hasil fusi dari PNI,
Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba harus jujur terhadap
sejarah. Sehingga gambar wajah dari semua deklarator fusi harus ditampilkan
dalam berbagai kegiatan partai. Sebab tanpa jasa mereka, PDIP tidak akan pernah
lahir, dan sebesar saat ini. Selain mengenang jasa dan penghargaan terhadap
para deklarator fusi, tindakan tersebut bertujuan untuk meyakinkan bahwa PDIP
menjadi rumah bersama berbagai aliran dan
ideologi politik, bukan hanya rumah bagi satu aliran dan ideologi
tertentu.
Kedua, bahwa PDIP harus
menegaskan kembali dirinya sebagai
partai wong cilik. Maka para kader
yang hendak bertarung di Pemilu 2024 (Pileg, Pilpres, Pilkada) harus turun menyapa
rakyat, bergerak ke bawah menjemput aspirasi rakyat. Kader PDIP harus sanggup
menempuh jalan sepi dalam politik, memilih menangis dan tertawa bersama rakyat.
Tidak melakukan politik transaksional, memberi hadiah atau janji, berupa uang
dan sembako kepada rakyat.
Ketiga, bahwa PDIP
sebagai partai milik bersama, milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik
pribadi, keluarga, kolega, atau kelompok. Maka seluruh bentuk eksklusivitas dan
keangkuhan elit partai harus dihentikan.
Pengelolaan PDIP harus lebih transparan sebagai hakikat bahwa PDIP sebagai
lembaga publik yang mengharuskan tata kelola program dan dana partai harus
transparan. PDIP harus meyakini bahwa transparansi akan menghadirkan
partisipasi.
Keempat, bahwa penggunaan
istilah petugas partai hendaknya
digunakan pada kegiatan partai yang sifatnya internal dan tertutup. Penggunaan
istilah petugas partai kepada kader yang merupakan pejabat publik, baik bupati,
walikota, gubernur, hingga presiden tidak tepat disampaikan secara terbuka,
karena dapat menimbulkan sentimen negatif dari publik.
Kelima, bahwa PDIP harus
menggunakan strategi politik merangkul bukan
politik memukul. PDIP harus membuka
tangan selebar- lebarnya kepada sebanyak mungkin orang untuk berjuang
memenangkan pasangan Ganjar- Mahfud (GaMa). Pilihan PDIP membangun koalisi
parpol ramping memiliki konsekuensi bahwa PDIP harus kerja keras, membangun
koalisi besar, yakni koalisi bersama rakyat.
Keenam, bahwa PDIP harus
menggerakkan seluruh mesin partai untuk memenangkan Pileg dan pasangan GaMa
dalam Pilpres dengan pembagian tugas yang jelas. Para kader yang bertarung di
Pileg hendaknya fokus sebagai caleg. Untuk mengisi struktur tim pemenangan
nasional, dan daerah hendaknya diserahkan kepada kader yang tidak maju sebagai
caleg. PDIP harus membangun kekuatan dengan sentralisasi visi dan
desentralisasi prakarsa.
Ketujuh, bahwa elit PDIP
harus berhenti memikirkan kepentingan diri sendiri, saudara, anak, istri,
menantu, keluarga, kolega, dan kelompok sendiri, terutama bagi para caleg yang
sedang bertarung di Pileg 2024. PDIP harus kembali menggelorakan semangat
gotong royong bersama rakyat untuk meraih kemenangan di Pemilu 2024.
Kedelapan, bahwa
kemenangan hattrick pada Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2024 hanya dapat diraih
oleh PDIP jika dan hanya jika seluruh caleg PDIP dan pasangan GaMa memiliki
kesamaan kata dengan laku. Keberanian jujur dan terbuka kepada rakyat menjadi
penting di saat rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada partai politik dan
penyelengara negara dan pemerintahan.
Satu- satunya jalan kembali
(pulang) untuk mendapatkan kepercayaan rakyat adalah dengan berhenti
memunggungi rakyat.
Sutrisno Pangaribuan
Kader PDIP
Presidium GaMa Centre
Presidium Kornas