Elit Jangan Baper: Dengan Atau Tanpa Jokowi, PDIP Hattrick!

Oleh : Sutrisno Pangaribuan
Administrator Administrator
Elit Jangan Baper: Dengan Atau Tanpa Jokowi, PDIP Hattrick!
IST | PELITA BATAK

LANGKAH politik Gibran Rakabuming Raka (Gibran) maju sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto (Prabowo), bukan kejadian luar biasa. Gibran menduplikasi sempurna proses politik bapaknya, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Oleh PDIP, Jokowi yang belum selesai tugasnya sebagai walikota, ditarik dari Solo, didorong maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta.

Pasca menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi lalu didorong (lagi) oleh PDIP bertarung sebagai calon presiden. Jokowi (dipaksa) bertarung menjadi capres meski baru 2 tahun menjadi gubernur DKI Jakarta. PDIP menjadi pelopor utama sekaligus fasilitator proses kesusu Jokowi meraih kekuasaan politik. PDIP pun larut dalam euforia, menyebut Jokowi sebagai kader terbaik, dijadikan role model kepemimpinan nasional.

Pilihan Gibran kesusu menjadi bacawapres Prabowo, bukan pengkhianatan, juga bukan aji mumpung. Gibran hanya sedang melakoni proses yang lebih cepat dari proses Jokowi. Gibran menunjukkan bahwa langkah anak harus lebih baik dan lebih cepat dari bapaknya. Anak presiden (Gibran) tidak boleh kalah sama anak orang biasa (Jokowi). Jika anak orang biasa (Jokowi) mampu 2 kali mengalahkan mantan menantu presiden, anak mantan menteri (Prabowo), maka Gibran (anak presiden) memilih langkah bijak bukan melawan Prabowo, namun menjadi juruselamat politik, penentu kemenangan Prabowo di Pilpres 2024. Air mata duka dan luka Prabowo dan pendukungnya yang kalah dalam Pemilu 2014, dan 2019, diseka dan dihapus Gibran.

Gibran bin Jokowi, menjadi satu- satunya orang yang dapat memberi harapan dan jaminan bagi Prabowo untuk mewujudkan mimpinya, menjadi macan asia. Gibran menunjukkan dirinya memiliki kapasitas, dan layak untuk menjadi wakil presiden. Gibran haqqul yakin pasti menang jika berpasangan dengan mantan menantu presiden Soeharto, penguasa orde baru (Prabowo). Mengapa Gibran bertarung tanpa PDIP? "Karena Gibran tidak mau sama dengan bapaknya, yang setiap saat disebut petugas partai"! Gibran tidak mau dikuyo- kuyo dengan sebutan petugas partai di depan khalayak ramai, seperti Jokowi.

Senjata Makan Tuan PDIP

Meski belum berani melakukan perang terbuka, elit PDIP dipastikan marah kepada Jokowi dan keluarganya. Elit PDIP mulai mengungkit jasa politik kepada Jokowi dan keluarganya. Cap penghianat, kacang lupa kulitnya, tidak tau diri, dan tidak tau berterima kasih, mulai, dan akan terus dilekatkan kepada Jokowi dan keluarganya. Namun PDIP masih menahan diri, sedang melakukan kalkulasi politik, karena melakukan perang terbuka kepada Jokowi saat ini, akan merugikan PDIP. Para elit PDIP, resah, galau, kesal, marah, sementara Jokowi dan keluarganya santai dan santuy saja menikmati proses bersama badut- badut politik, pimpinan partai dan relawan pemujanya, yang penting asal lurah senang (ALS).

Sikap dan tindakan Gibran harus dimaknai sebagai kritik terhadap sistem demokrasi internal PDIP. Sekaligus menjadi tamparan keras dan alarm kepada PDIP agar berubah atau tergilas zaman. Saatnya elit PDIP menanggalkan dan meninggalkan feodalisme dan kultus individu. Elit PDIP sekian lama menikmati keuntungan dengan bersikap asal ibu senang (AIS) dengan slogan loyalitas tanpa batas. Penggunaan istilah tegak lurus dan demokrasi terpimpin, yang selalu digaungkan elit partai, kini ambruk dan berantakan akibat ulah anak kecil (istilah Panda Nababan), Gibran. Perlakuan istimewa PDIP kepada Jokowi dan keluarganya, menjadi senjata makan tuan. PDIP pasrah dan tega membunuh karir politik kader- kadernya demi memenuhi ambisi dinasti politik dan kekuasaan putra sulung Jokowi, Gibran dan menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, yang kesusu maju sebagai calon walikota.

Akhyar Nasution, Walikota Medan petahana (kader dan Wakil Ketua DPD PDIP Sumatera Utara) saat itu, dipecat dan disebut penghianat oleh elit PDIP demi tersedianya karpet merah buat menantu Jokowi, Bobby. Demikian juga dengan Achmad Purnomo, yang semula telah diputuskan sebagai calon walikota Solo akhirnya pasrah namanya diganti putra mahkota Jokowi, Gibran yang kesusu maju jadi walikota Solo. Purnomo yang ditawari jabatan di Pemerintah Pusat oleh Jokowi, menolak, sementara Akhyar Nasution memilih melawan dengan bertarung di Pilkada kota Medan menghadapi menantu Jokowi.

Perlakuan adanya anak emas dan anak tiri di PDIP tidak hanya buat keluarga Jokowi. Para elit PDIP juga kerap melakukannya terhadap anak, istri, menantu, keluarga, kerabat, dan kolega masing- masing di setiap level dan tingkatan. Banyak kader- kader militan, yang berjuang membesarkan partai, dibunuh karir politiknya demi circle elit PDIP. Partai terkesan hanya milik pengurus dan circle nya, sehingga para kader tanpa posisi pada struktur tidak memiliki akses terhadap informasi, kegiatan, dan hal lain terkait partai.

Sementara para penghianat partai dari berbagai partai lain, diberi karpet merah di PDIP. Bahkan kader penghianat partai yang pernah dipecat PDIP, lalu pindah ke partai lain, dan selalu menjadi lawan politik PDIP, kini kembali menjadi elit PDIP. Maka penghianatan Gibran menjadi karma politik dari para kader yang karir politiknya dimatikan PDIP. Dari mereka yang berjuang membangun dan mempertahankan partai dari berbagai tekanan, namun tidak dihargai, bahkan dikucilkan elit PDIP.

Dengan Atau Tanpa Jokowi: Hattrick

Pemilu pertama pasca reformasi, tahun 1999, PDIP sebagai kelanjutan dari PDI ( partai hasil fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba), berhasil menjadi pemenang pertama. Pada Pemilu kedua, tahun 2004, PDIP pemenang kedua, selanjutnya pada Pemilu 2009, PDIP pemenang kedua. Pemilu 2014 (sebelum Pilpres), PDIP pemenang pertama, sedang Pemilu 2019 (bersamaan dengan Pilpres), PDIP menjadi pemenang pertama. Fakta tersebut membuktikan bahwa kemenangan PDIP dalam Pemilu tidak hanya ditentukan oleh calon presiden. Kemenangan dalam Pemilu ditentukan oleh kemampuan PDIP membujuk dan meyakinkan rakyat, bahwa PDIP menjadi saluran aspirasi dan suara rakyat.

Jika PDIP ingin hattrick, memenangi Pemilu (Pileg dan Pilpres 2024) untuk ketiga kalinya seperti Pemilu 2014 dan 2019, dengan atau tanpa Jokowi, maka PDIP harus melakukan hal- hal sebagai berikut:

Pertama, bahwa PDIP sebagai kelanjutan perjuangan dari PDI yang merupakan hasil fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba harus jujur terhadap sejarah. Sehingga gambar wajah dari semua deklarator fusi harus ditampilkan dalam berbagai kegiatan partai. Sebab tanpa jasa mereka, PDIP tidak akan pernah lahir, dan sebesar saat ini. Selain mengenang jasa dan penghargaan terhadap para deklarator fusi, tindakan tersebut bertujuan untuk meyakinkan bahwa PDIP menjadi rumah bersama berbagai aliran dan ideologi politik, bukan hanya rumah bagi satu aliran dan ideologi tertentu.

Kedua, bahwa PDIP harus menegaskan kembali dirinya sebagai partai wong cilik. Maka para kader yang hendak bertarung di Pemilu 2024 (Pileg, Pilpres, Pilkada) harus turun menyapa rakyat, bergerak ke bawah menjemput aspirasi rakyat. Kader PDIP harus sanggup menempuh jalan sepi dalam politik, memilih menangis dan tertawa bersama rakyat. Tidak melakukan politik transaksional, memberi hadiah atau janji, berupa uang dan sembako kepada rakyat.

Ketiga, bahwa PDIP sebagai partai milik bersama, milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik pribadi, keluarga, kolega, atau kelompok. Maka seluruh bentuk eksklusivitas dan keangkuhan elit partai harus dihentikan. Pengelolaan PDIP harus lebih transparan sebagai hakikat bahwa PDIP sebagai lembaga publik yang mengharuskan tata kelola program dan dana partai harus transparan. PDIP harus meyakini bahwa transparansi akan menghadirkan partisipasi.

Keempat, bahwa penggunaan istilah petugas partai hendaknya digunakan pada kegiatan partai yang sifatnya internal dan tertutup. Penggunaan istilah petugas partai kepada kader yang merupakan pejabat publik, baik bupati, walikota, gubernur, hingga presiden tidak tepat disampaikan secara terbuka, karena dapat menimbulkan sentimen negatif dari publik.

Kelima, bahwa PDIP harus menggunakan strategi politik merangkul bukan politik memukul. PDIP harus membuka tangan selebar- lebarnya kepada sebanyak mungkin orang untuk berjuang memenangkan pasangan Ganjar- Mahfud (GaMa). Pilihan PDIP membangun koalisi parpol ramping memiliki konsekuensi bahwa PDIP harus kerja keras, membangun koalisi besar, yakni koalisi bersama rakyat.

Keenam, bahwa PDIP harus menggerakkan seluruh mesin partai untuk memenangkan Pileg dan pasangan GaMa dalam Pilpres dengan pembagian tugas yang jelas. Para kader yang bertarung di Pileg hendaknya fokus sebagai caleg. Untuk mengisi struktur tim pemenangan nasional, dan daerah hendaknya diserahkan kepada kader yang tidak maju sebagai caleg. PDIP harus membangun kekuatan dengan sentralisasi visi dan desentralisasi prakarsa.

Ketujuh, bahwa elit PDIP harus berhenti memikirkan kepentingan diri sendiri, saudara, anak, istri, menantu, keluarga, kolega, dan kelompok sendiri, terutama bagi para caleg yang sedang bertarung di Pileg 2024. PDIP harus kembali menggelorakan semangat gotong royong bersama rakyat untuk meraih kemenangan di Pemilu 2024.

Kedelapan, bahwa kemenangan hattrick pada Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2024 hanya dapat diraih oleh PDIP jika dan hanya jika seluruh caleg PDIP dan pasangan GaMa memiliki kesamaan kata dengan laku. Keberanian jujur dan terbuka kepada rakyat menjadi penting di saat rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada partai politik dan penyelengara negara dan pemerintahan.

Satu- satunya jalan kembali (pulang) untuk mendapatkan kepercayaan rakyat adalah dengan berhenti memunggungi rakyat.

Sutrisno Pangaribuan

Kader PDIP

Presidium GaMa Centre

Presidium Kornas

Komentar
Berita Terkini