Danau Toba menjadi pembicaraan hangat beberapa hari terakhir. Kali ini bukan soal rencana pembentukan badan otorita, tetapi tentang keramba jaring apung (KJA). Dipicu matinya ikan sebanyak 850 ton di Haranggaol, Kabupaten Simalungun. Dugaan sementara adalah karena kekurangan oksigen.
Penyebab pastinya masih dalam penelitian secara ilmiah. Kementerian Perikanan dan Kelautan telah menurunkan orang terbaiknya ke Danau Toba. Artinya, sebelum ada penjelasan resmi, semua pihak mesti menahan diri berkomentar, apalagi mengompori.
Tak bisa terelakkan, kasus ini menghangatkan isu KJA yang dituding sebagai biang kerok pencemaran Danau Toba. Ada dorongan kuat agar semua budidaya ikan menggunakan KJA dibasmi dari danau hasil letusan Gunung Toba tersebut. Tak peduli bagaimana cara dan dampaknya, mereka mendesak pemerintah mencabut izin dan melarang budidaya tersebut. Secara terang-terangan ada nama perusahaan yang disebut-sebut bertanggung jawab atas polusi di Danau Toba.
Kenyataan di lapangan, pemilik KJA bukan hanya perusahaan saja. Ada banyak rakyat Tapanuli yang menggantungkan nafkahnya di bisnis ini. Sebagian besar mereka merintis dari nol, hingga memiliki beberapa puluhan unit KJA. Ekonomi warga yang sempat ambruk akibat lesunya pariwisata, bisa terobati dengan adanya budidaya ikan tawar tersebut.
Pemilik KJA kini resah mendengar rencana pembersihan Danau Toba dari budidaya ikan. Sebab bagaimana skema pascapenertiban belum jelas. Apakah akan ada ganti rugi atau direlokasi ke tempat lain. Kelambanan pemberian penjelasan dari pihak berwenang padahal informasi begitu kencang di media massa, membuat warga bingung dan gelisah.
Sebagian besar KJA tersebut memiliki izin dari pemda setempat, walau tak sedikit juga tanpa legalitas. Mengapa baru sekarang diributi, padahal budidaya ikan dilakukan terbuka di Danau Toba, di depan aparat. Lalu mengapa tak ada larangan dan razia selama ini? Sulit bagi pemda untuk mengelak bahwa meraka ikut memilki andil atas maraknya KJA.
Harus diakui, ada KJA yang membuat kumuh. Tidaknya adanya zonasi, membuat pemiliknya tak memiliki panduan, bisa beroperasi di mana. Akibatnya, banyak yang merangsek hingga dekat ke lokasi pemandian turis, dan hotel-hotel. Penggunaan pakan secara besar-besaran dikhawatirkan memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.
Namun apakah melarang KJA secara drastis merupakan langkah bijaksana. Kita setuju menjadikan Danau Toba menjadi pusat pariwisata dunia. Sangat membanggakan saat-saat nantinya di masa depan jutaan turis memilih untuk berlibur di sini. Kenyataannya saat ini, rakyat Tapanuli belum bisa menggantungkan mata pencahariannya dari turisme. Beberapa tahun lagi, mungkin ya!
Kearifan pemerintah sangat diperlukan dalam menangani masalah KJA. Kita setuju tak boleh ada pencemaran dan perusakan lingkungan di Danau Toba. Tetapi nasib pemilik KJA yang umumnya rakyat Tapanuli, nasibnya mesti diperhatikan. Segera kaji dan sosialisasikan konsep masa depan Danau Toba, apakah akan ada zona wisata dan zona budidaya? Jangan sampai merugikan rakyat banyak.(**)