Belajar Budaya Batak Tidak Harus Jadi Sipele Begu

Oleh : Bachtiar Sitanggang
Administrator Administrator
Belajar Budaya Batak Tidak Harus Jadi Sipele Begu
IST|Pelita Batak

DALAM webinar yang dilakukan Forum Grup Diskusi Batakologi yang ke-21 Sabtu malam (19/3) yang membahas “Manuskrip Batak” tampil tiga pembicara dan dua diantaranya warga negara Italia yaitu Giuseppina Monaco dan Roberta Zollo yang duan-duanya mengaku Boru Sibarani, yang hampir sama kemampuannya berbahasa Batak dan Bahasa Indonesia.

Sebelum kedua warga Italia itu, tampil terlebih dahulu Nelson Lumban Toruan sebagai pengantar (sekarang bertugas di BODT), dan ketiga nara sumber tersebut adalah jebolan Universitas Sumatera Utara, bimbingan Prof. Robert Sibarani. Menurut Giuseppina (Jusi) dan Roberta, mereka bersentuhan dengan Budaya Batak ketika Prof. Robert Sibarani sebagai dosen tamu di negaranya mengundang keduanya untuk empelajari budaya Asia Tenggara. Keduanya akhirnya tertarik dengan Budaya Batak dan mengikuti kuliah beberapa smester di USU, serta mengadakan penelitian di semua suku bangsa Batak.

Untuk memperdalam Budaya Batak (Batakologi) keduanya harus berburu naskah tertulis buku Laklak yang di Tanah Batak tidak ada lagi dan di perpustakaan nasional sungguh tidak memadai. Oleh karenanya, mencari di museum-museum di kota-kota besar di Eropa.

Roberta Zollo mengatakan dia menemukan buku Bius sebagai kesatuan masyarakat Batak dan dia baca di 15 buku. selain tentang Bius dia juga menemukanbuku Laklak yag berisikan black magig dan white magic (ilmu hitam dan ilmu putih).

Buku Bius katanya memuat dan membahas hal-hal yang bersih, positif untuk menyelamatkan masa depan warganya seperti cara bercocok tanam, mendirikan perkampungan baru serta ritual-ritual pesta bius dengan memotong kerbau, yang kesemuanya menceritakan semua langkah untuk kebaikan masa depan.

Namun, tambahnya, terhadap Bius itu terjadi perubahan sebagai taktik Pemerintah Kolonial Belanda untuk dapat menguasai dan untuk kepentingan pemerintah penjajah, Selain politik kolonial, Bius juga mengalami perubahan yang dilakukan Jrman untuk kepentingan misionaris, sehingga Bius yang kita kenal sekarang tidak lagi seperti Bius yang dahulu yang ada dalam buku Laklak beraksara Batak itu.

Sementara Jusi (panggilan Giuseppina, yang lebih banyak mendalami naskah/aksara Batak serta melakukan penelitian di beberapa museum mengatakan, negara-negara yang menyimpan ribuan naskah Batak pada umumnya mau mengembalikan naskah itu ke Idonesia dengan syarat harus ada tempat penyimpan yang memadai dan mampu merawat naskah-naskah kuno tersebut.

Pada umumnya, menurut dia, tidak bisa membedakan Aksara Batak Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, sebab ada persamaan hanya penggunaannya yang berbeda dalam setiap aksara subsuku menurut bahasa setempat.

Aksara batak ditemukan di bambu, tulang-tulang untuk ajimat dan lak-lak (kulit kayu khusus), yang jenis kayu itu hanya ada di Barus.

Naskah Batak itu menurutnya, adalah catatan Datu (dukun) kepada murid (sisean)nya sebagai pelengkap instruksi lisan dengan tujuan melestarikan pengetahuan mereka. Sekarang sudah bisa diakses secara digital melalui British Library, dan naskah pertama masuk ke Eropa sesuai dengan catatan yang ada adalah tahun 1764.

Menurut Jusi, dalam naskah Batak tersebut ada tiga tipologi utama isinya semua ilmu kedukunan yaitu petama, menjaga dan memelihara kehidupan seperti pengobatan; kedua, menghancurkan kehidupan seperti racun dan ketiga tentang ramalan.

Sambil tertawa, dia bilang dari hasil bacaannya itu dia bisa gunakan ilmu hitam Batak. Dan mungkin dulu racun itu digunakan orang Batak untuk menghancurkan musuhnya. Ditemukan juga tentang “dorma” alat pemanis yang digunakan anak muda kepada wanita, tetap terlalu banyak faktor yang harus dipenuhi. Tentang jeruk purut juga ditemukannya dan bahkan sampai sekarang masih ada yang menggunakannya untuk diminum dalam ritual tertentu.

Dia ada daftar 15 negara di Eropa dan Singapura serta jumlah naskah yang disimpannya di museum ataupun perpustakaan yang dikelola pemerintah dan swasta. Vatikan sendiri katanya ada satu naskah Batak satu dihadiahkan seorang Perancis kepada Paus tidak tahu kapan dan nama yang menyerahkan.

Ditemukan juga bahwa pada tahun 1890 seorang Italia bernama Modigliani sudah mengunjungi Tanah Batak, dan hasil kunjungannya diterbitkan tahun 1892 berjudul “Mengunjungi Tanah Batak Merdeka”. Modigliani pertama mengunjungi pulau-pulau digugusan pantai Barat Sumatera, Nias, Mentawai dan Enggano. Kemudian Modigliani mau memasuki pedalaman Sumatera, tetapi tidak diijinkan Belanda dengan alasan Tanah Batak adalah tanah merdeka, sehigga tidak ada kewenangan memberi ijin dan tidak dijamin keselamatannya. Namun demikian Modigliani tetap menajalankan niatnya, dan ia sampai ke Bakkara dan ketemu dengan Guru Somalaing Pardede, sahabat Sisingamangaraja.

Kedua sarjana peneliti ini sama-sama mengakui tidak menemukan tahun maupun tempat/kampung serta nama pembuat naskah tersebut.

Menurut Jusi, banyak yang tidak tertarik dengan Aksara dan Budaya Batak karena dianggap Sipele Begu, oleh karena itu dia berkomentar “Belajar Sejarah adalan penting untuk mengetahui akar sesuatu bangsa. Belajar Budaya Batak tidak harus kembali menjadi Sipele Begu”.

Dia memberi contoh sebagai warga negara Italia adalah Orang Rumawi, yang dalam sejarah adalah yang membunuhdan menyalibkan Yesus Kristus, kami juga mempelajari sejarah tidak harus kembali ke jaman Romawi kuno. Diskusi dengan tuan rumah Dr. Sahala Benny Pasaribu dan moderator Dr Pirma Simbolon ini cukup menarik, dengan dinamikan tinggi sebagaimana biasanya.***

Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Komentar
Berita Terkini