METAMORFOSIS perguruan tinggi keagamaan seperti yang dialami STAIN menjadi IAIN untuk selanjutnya UIN, adalah proses yang sunyi dan jauh dari hiruk pikuk apalagi konflik. Demikian juga yang dialami oleh perguruan tinggi keagamaan Hindu, yang beberapa tahun yang lalu sudah berhasil mendirikan Universitas Hindu Negeri di Bali. Di berbagai daerah transformasi menuju UIN (Universitas Islam Negeri) dan UHN (Universitas Hindu Negeri), selalu mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat. Yang paling anyar saat ini adalah IAIN Saifuddin Zuhri Purwokerto yang sudah bertransformasi menjadi UIN mendapat dukungan penuh dari Pemda setempat, antara lain berupa penyediaan lahan dan berbagai bentuk dukungan lainnya.
Tetapi nasib IAKN Tarutung yang sedang berproses menjadi Universitas Kristen Negeri (UKN) tidak seindah yang dialami oleh “saudara-saudara†nya IAIN di berbagai daerah di Nusantara yang pada umumnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. IAKN tidak mendapat dukungan dari Pemkab Tapanuli Utara dalam upayanya menjadi universitas. Padahal untuk memenuhi persyaratan untuk menjadi universitas seperti dituangkan dalam PMA No. 81 Tahun 2022, bukanlah hal yang mudah, IAKN Tarutung membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk dari Pemkab Taput.
Namun yang terjadi saat ini, proses transformasi menjadi UKN yang sedang berjalan justru ingin dialihkan Pemkab Taput menjadi universitas negeri umum seperti USU. Akibatnya terjadi pro kontra di berbagai elemen masyarakat ada yang setuju dan tidak sedikit yang menolak skenario Pemkab Taput ini. Dan yang lebih memprihatinkan proses ini mengakibatkan adanya deklarasi dukungan bagi pengalihan UKN (Universitas Kristen Negeri) menjadi universitas negeri di bawah kemendikbud ataupun di pihak lain tetap mendukung IAKN menjadi UKN yang diberikan oleh berbagai elemen masyarakat dan bahkan ada perang petisi melalui change.org. Hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi dan sangat memprihatinkan dan menunjukkan lemahnya koordinasi dan kemampuan komunikasi antar pimpinan lembaga yang secara fisik berada di kota yang sama tersebut.
Kedua belah pihak juga melakukan klaim-klaim. Bahkan Bupati Taput sering menggunakan kalimat “mendirikan UNTARA (Universitas Negeri Tapanuli Raya),†walaupun faktanya dia berusaha “mengalihkan IAKN menjadi UNTARA†yang cenderung menyesatkan pemahaman publik. Permendikbud No. 7 Tahun 2020 secara tegas mendefiniskan pendirian PTN sebagai pembentukan (bukan pengalihan) universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas oleh pemerintah. Siapapun warga Tapanuli akan mendukung pendirian universitas baru, tetapi mengalihkan IAKN yang memiliki sejarah cukup panjang sejak tahun 1960 an, tentu akan mendapat tantangan dari sebagian besar warga yang memahami dan menghargai nilai-nilai historis dan simbolik yang dimiliki IAKN.
Disisi lain IAKN tidak terbuka menyampaikan kemajuan yang sudah dicapainya, publik tidak pernah mengetahui syarat-syarat objektif apa saja yang sudah dan belum dipenuhi IAKN, dan dukungan apa saja yang dibutuhkan dari berbagai pihak. Dukungan sebesar apapun yang diperoleh kedua belah pihak apakah melalui petisi atau melalui pernyataan resmi dari pemimpin organisasi/lembaga bahkan pejabat pemerintah tidak serta merta membuat universitas terwujud. Berbagai persyaratan objektif harus lebih dahulu dipenuhi baru status universitas bisa terwujud.
Perbandingan Universitas Negeri Tapanuli (via IAKN) vs Universitas Kristen Negeri Tarutung
Agar lebih rasional dalam menimbang alternatif mana yang lebih baik, perbandingan dapat kita lakukan untuk berbagai parameter kunci seperti ditunjukkan pada Tabel berikut.
Dari Tabel di atas, terlihat bahwa proses pembentukan UNTARA dari hasil pengalihan dari IAKN ke UKN, akan membutuhkan waktu yang lebih lama, waktu yang lebih lama juga akan berimplikasi terhadap peningkatan biaya dan energi yang dibutuhkan. Waktu yang lebih lama ini diakibatkan adanya prosedur penyerahan aset, personil dan hal-hal lainnya dari Kemenag kepada Kemendikbud-Ristekdikti disamping pemenuhan persyaratan universitas yang juga tidak mudah. Untuk menjadi UKN saja masih sangat berat apalagi untuk menjadi UNTARA. Memang bisa saja ada upaya jalan pintas, tetapi kebanyakan jalan pintas bersifat manipulatif dan diwarnai transaksi yang bersifat koruptif.
Pada tahun 2021, berbagai media sudah menyiarkan klaim Bupati Taput bahwa Kemendikbud sudah menyetujui pendirian (baca: pengalihan) IAKN menjadi UNTARA. Nyatanya sampai saat ini belum ada realisasi dan langkah apapun dari Kemendikbud-Ristek untuk mengakuisisi IAKN. Bahkan dalam FGD yang dilaksanakan oleh KMDT, Dr. Lukman Direktur Kelembagaan Dikti (Media Delegasi, 10 Mei 2023) mengakui bahwa kewenangan mengubah bentuk kelembagaan IAKN Tarutung, sepenuhnya merupakan ranah Kemenag RI.
Dampak sosial dari adanya dualisme skenario ini sudah terasa yaitu adanya dukung-mendukung dari berbagai organisasi dan elemen masyarakat yang sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya masalah ini dapat diselesaikan di tataran (pimpinan) antar lembaga. Sedikit banyak polarisasi sudah terjadi khususnya di kalangan masyarakat Tapanuli Utara. Mencapai status universitas atau mengalihkan IAKN menjadi UNTARA itu perlu kajian-kajian yang rasional dan netral, bukan dengan retorika nir aksi.
Berdirinya UNTARA dari skenario pengalihan IAKN menjadi UKN, merupakan bentuk symbolic dismantling (pembongkaran simbolik) dari kekhasan kota Tarutung sebagai pusat sejarah kekristenan di Sumatera. Perlu juga digaris bawahi bahwa bayi IAKN bukan lahir dari rahim pemerintah, tetapi dilahirkan tokoh-tokoh Kristen Tapanuli, khususnya kota Tarutung. IAKN Tarutung merupakan satu-satunya perguruan tinggi Kristen yang dimilik Negara di Pulau Sumatera dan merupakan Sekolah Tinggi Agama Kristen yang pertama di Indonesia. Melihat eksistensi dan sejarah yang monumental tersebut, itu seyogianya menyadarkan berbagai pihak bahwa IAKN bukan hanya sekadar untuk Tapanuli, tetapi untuk Indonesia dan ini tergambar dari dukungan dari seantero Nusantara dalam petisi change.org. Hal ini seharusnya mendorong berbagai pihak dan kepentingan menjaga eksistensi IAKN serta memelihara marwah dan jasa para pendiri awal IAKN ini, agar tidak kabur apalagi sampai terkubur.
Isu identitas yang sering dialamatkan beberapa pihak kepada pendukung UKN karena tetap mempertahan kata “Kristen†di dalam lembaganya. Ijinkan saya bertanya: bukankah penggunaan kata “Tapanuli†dalam UNTARA, juga menunjukkan identitas etnis? Tuduhan tersebut merupakan isu yang tidak beralasan, sejarah kehadiran perguruan Kristen dan Katolik sudah ratusan tahun di Indonesia, sudah meluluskan banyak tokoh-tokoh terkemuka di level nasional dan internasional: B.J. Habibie, Akbar Tanjung, Agung Laksono, Ginanjar Kartasasmita, Ahmad Basarah (wakil ketua MPR saat ini) dan banyak menteri dalam kabinet Jokowi sekarang ini seperti Syahrul Yasin Limpo, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, Budi K Sumadi, Tito Karnavian dan lain-lain merupakan tokoh yang pernah mengenyam indahnya pendidikan Kristen/Katolik baik di tingkat SD, SMP, SLTA dan perguruan tinggi. Pendapat yang mengatakan bahwa penggunaan kata “Kristen†akan menghambat orang untuk bergabung dengan UKN sama sekali tidak benar. Bahkan kata “Kristen†itu bisa menjadi jaminan mutu, asalkan civitas akademika UKN konsisten menerapkan prinsip etika Kristen dalam membentuk karakter manusia tangguh, kepemimpinan yang kuat, disiplin dan produktif menggunakan waktu, dan memiliki keterampilan belajar.
Selama ini ada framing, seolah-olah kalau Universitas Kristen Negeri akan lebih sulit membuka prodi non agama. Padahal ketentuannya perguruan tinggi keagamaan yang berbentuk universitas justru dapat bahkan diwajibkan membuka prodi non agama. Saat ini IAKN Tarutung menurut Pangkalan Data Dikti sudah memiliki 15 prodi agama, artinya UKN dimungkinkan untuk membuka 10 prodi non agama misalnya dengan membuka prodi-prodi yang dibutuhkan di Tapanuli sesuai rekomendasi Pemda di kawasan Tapanuli. Perlu dicatat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini sudah membuka sekitar 40 prodi non agama seperti kedokteran, pertambangan, teknologi informasi dan lain-lain.
Kemudian muncul kesan bahwa perguruan tinggi keagamaan hanya untuk kalangan agama tertentu saja. Fakta dan regulasinya tidak mengatur demikian, orang belajar di IAKN atau di IAIN bukan mau beribadah, tetapi ingin belajar. Siapa saja tidak tergantung kepada keyakinannya bisa belajar prodi apapun termasuk prodi keagamaan di perguruan tinggi keagamaan seperti IAKN, UIN dll. Di UIN sudah meluluskan mahasiswa yang tidak beragama Islam. Pembukaan prodi-prodi non agama akan lebih merangsang bergabungnya mahasiswa dari berbagai latar belakang agama untuk bergabung dengan perguruan tinggi keagamaan yang sudah membuka prodi non agama.
Dalam satu pemberitaan salah satu tujuan universitas negeri umum, adalah untuk membentuk manusia Pancasilais dan toleran. Pembentukan karakter seperti ini adalah sebuah keharusan baik di perguruan tinggi keagamaan maupun umum. Bahkan kalau kita pelajari hasil penelitian Setara Institute yang dirilis pada tanggal 31 Mei 2020, dari 10 Universitas paling terpapar radikalisme 8 di antaranya adalah Universitas Negeri non Keagamaan (Umum). Ini mematahkan persepsi bahwa perguruan tinggi keagamaan akan membentuk manusia yang sektarian dan radikal. Mengapa radikalisme justru lebih tumbuh subur di Universitas tersebut? Peneliti Setara menjawab: "Corak kegiatan keislaman di kampus [yang terpapar radikalisme] itu monolitik. Cenderung dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusif." Keunggulan Perguruan Tinggi Keagamaan adalah dapat memberikan pengetahuan keagamaan yang mendalam dan lebih komprehensip serta menampilkan berbagai pandangan dan tafsir yang lebih variatif dan kaya.
Dalam polemik ini ada salah satu pihak yang mengimbau untuk menghilangkan ego sektoral. Dalam suatu konflik tidak begitu sulit sebenarnya mengidentifikasi pihak mana yang memiliki ego yang lebih tinggi. Biasanya yang memiliki ego paling tinggi dalam suatu konflik adalah pihak yang dalam posisi merampas dan pihak yang melakukan intervensi dalam suatu proses yang sudah baku.
Kemudian hal yang kurang sabar ditunggu adalah propinsi Tapanuli yang cepat atau lambat akan terwujud. Setiap propinsi yang baru lahir selalu diikuti pendirian PTN baru yang mendapat kemudahan dan dukungan dari pemerintah pusat. Bahkan UU No. 12 Tahun 2012 khususnya pasal 80 ayat 2 dan 3, mewajibkan pemerintah untuk mengembangkan paling sedikit satu PTN di setiap propinsi. Dengan demikian, berdirinya UNTARA hasil pengalihan IAKN berpotensi menghilangkan “jatah†propinsi Tapanuli untuk mendapatkan sebuah perguruan tinggi negeri sekuler yang baru.
Dari sisi regulasi, pendirian UNTARA via IAKN, menghadapi persoalan regulatif yang jauh lebih rumit. Infrastruktur regulasi dan studi kasus transformasi perguran tinggi keagamaan menjadi Universitas (Islam dan Hindu) sudah sangat melimpah dan mendukung, sehingga pengalaman-pengalaman transformasi perguruan tinggi keagamaan tersebut dapat menjadi panduan dan pelajaran berharga yang memperlancar transformasi IAKN menjadi UKN. Sementara kita belum memiliki benchmark terkait pengalihan IAIN menjadi universitas negeri umum.
Dampak ekonomi menurut saya tidak tergantung status perguruan tinggi (universitas atau tidak), tetapi tergantung kepada kualitas dan prospek prodi-prodi yang ditawarkan. Orang tertarik belajar di sebuah perguruan tinggi, bukan karena perguruan tinggi itu sudah berstatus universitas atau tidak. Kita sudah menyaksikan ada beberapa perguruan tinggi yang masih berstatus sekolah tinggi dapat mendidik ribuan mahasiswa, seperti yang dialami STAN dan STIF Jakarta yang diidam-idamkan banyak orang.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, solusi yang paling efisien adalah mendorong transformasi IAKN menjadi UKN dan hal ini juga sekaligus akan menjawab keinginan Pemkab Taput untuk menghadirkan Universitas Negeri di Tapanuli, karena berbagai prodi yang akan dibuka oleh UKN dapat juga diselaraskan dengan rekomendasi para Bupati di kawasan Danau Toba. Hal yang perlu dilakukan adalah mendukung IAKN Tarutung memenuhi persyaratan sesuai regulasi yang berlaku.
Banyak jalan menuju Roma, demikian kata ungkapan tua. Ada beberapa alternatif untuk mendirikan Universitas Negeri di Tapanuli tanpa harus mengintervensi proses transformasi IAKN menjadi UKN. Misalnya mengakuisisi perguruan tinggi swasta yang sudah ada, melakukan transformasi akademi dan sekolah tinggi milik Pemda/negara dan swasta menjadi Institut untuk selanjutnya menjadi Universitas, dan mungkin alternatif lain yang masih belum terpikirkan saat ini. Contoh nyata adalah yang dilakukan Pemkab Nias yang sudah berhasil menggabungkan beberapa akademi/sekolah tinggi menjadi Universitas Nias, yang walau masih swasta tetapi sudah siap dinegerikan apabila moratorium dicabut.

Tugu Namangolu
Adanya kerinduan Bupati Taput untuk mewariskan Tugu Namangolu, merupakan hal yang positif dan perlu didukung semua pihak. UKN dapat menjadi Tugu Namangolu dengan nafas atau roh Kekristenan yang khas di Tapanuli, hal ini akan membekali alumninya dalam beradaptasi tanpa kehilangan jati diri dalam menghadapi berbagai gelombang revolusi industri serta dalam menyambut kedatangan wisatawan dari berbagai latar belakang budaya yang tentu membawa pengaruh yang signifikan. Dalam masa pemerintahannya ini, Bupati Tapanuli Utara dianugerahiNya golden moment yang tidak dimiliki para Bupati Tapanuli Utara sebelumnya untuk terlibat dalam sejarah yang monumental dengan mendorong dan membantu proses transformasi IAKN menjadi UKN, sehingga menjadi master piece (mahakarya) Bupati Taput yang layak diingat masyarakat Tapanuli dari generasi ke generasi. Kairos tidak selalu hadir dalam kronos.
Saran Terhadap Pemimpin Gereja
Baru-baru ini ramai lagi mengenai upaya Bupati Taput untuk meng “untarakan†IAKN Tarutung. Keramaian ini disebabkan kesepakatan dan pernyataan beberapa pimpinan gereja yang bernaung di bawah Sekber UEM, yang mendukung transformasi IAKN Tarutung menjadi UNTARA (universitas Tapanuli Raya).
Saya menyesalkan keterlibatan pimpinan gereja dalam isu ini. Kalau pernyataan itu dilakukan sesudah melakukan seminar atau kajian bersama, mungkin masih masuk akal. Tetapi ini lebih ke pernyataan sepihak tanpa lebih dahulu berkomunikasi dengan Pihak Kemenag atau IAKN Tarutung. Alangkah sejuknya apabila Sekber UEM berperan sebagai pembawa damai seperti dalam satu ayat Alkitab dikatakan: martua ma siboan dame. Sekber UEM misalnya dapat melakukan sebuah seminaryang mempertemukan Pemkab, IAKN Tarutung, Kemenag, Kemendikbud-Ristek serta pihak-pihak lain yang memberi hati terhadap transformasi ini. Berdasarkan seminar itu dapat dirumuskan sebuah kesimpulan atau pernyataan yang ditanda-tangani bersama untuk disampaikan kepada Presiden. Membuat dukungan terkait lembaga akademik (universitas) tanpa kajian akademik dari dua sisi yang berseberangan sebenarnya sangatlah tidak layak dilakukan para rohaniwan. Dengan kejadian ini, para rohaniwan sebenarnya sedang menurunkan wibawa mereka menjadi celebrity endorser.
Rohaniwan juga dapat menempuh langkah lain, dengan berkomunikasi dengan IAKN Tarutung, menanyakan dukungan yang diperlukan. Dengan jaringan gereja yang kuat dan berskala Internasional banyak hal yang dapat dilakukan oleh pimpinan gereja untuk mempercepat transformasi IAKN Tarutung menjadi UKN.
Saran Terhadap IAKN Tarutung
Hambatan terhadap transformasi IAKN Tarutung menjadi UKN ada di dalam diri IAKN Tarutung sendiri. Pemkab Taput tidak akan bisa menghambat IAKN Tarutung meningkatkan akreditasinya. Untuk itu IAKN Tarutung harus meningkatkan discipline of execution, khususnya dalam memenuhi syarat-syarat objektif untuk menjadi universitas seperti yang tercantum dalam PMA 81 Tahun 2022. Sejak transformasi digaungkan akhir tahun 2020, sampai saat ini kita belum mendengar terjadinya perbaikan akreditasi.
Jajaran IAKN Tarutung tidak perlu panik, ketika para pimpinan negara ini sibuk dengan Pilpres/Pileg 2024, manfaatkan tahun politik ini untuk konsentrasi memperbaiki diri, lebih baik fokus saja meningkatkan kinerja internal.
Visi sudah jelas yaitu menjadi UKN, lakukan saja monitoring dan pengendalian yang ketat terhadap setiap program pemenuhan syarat untuk menjadi universitas. Lakukan rapat evaluasi mingguan bahkan harian untuk memastikan pencapaian setiap target yang sudah disepakati. Intinya IAKN harus lebih keras pada diri sendiri.
Bahkan yang lebih penting dilakukan adalah menjalankan transformasi budaya. Untuk menjadi kampus shalom, buang segala tindakan dan kebijakan yang bersifat segregatif dan gantikan dengan kebijakan konsolidatif. Sebagai perguruan Kristen, jangan jadikan nilai-nilai Kekristenan hanya sebagai materi perkuliahan saja, nilai-nilai itu harus menjadi budaya kerja dan budaya organisasi. Ini lebih fundamental dan akan menjadi sumber keunggulan IAKN Tarutung yang lebih permanen.
Pihak IAKN juga harus merumuskan apa point of differences apabila bertransformasi menjadi UKN. Misalnya seandainya UKN membuka Fakultas Peternakan, harus bisa membedakan antara profil lulusan sarjana peternakan UKN dengan sarjana peternakan lulusan USU, misalnya. Kalau tidak ada perbedaan antara lulusan UKN dengan Universitas Umum, berarti UKN itu tidak memberi nilai tambah atau keunikan apapun terhadap lulusannya. Artinya UKN hanya sekadar monumen kesejarahan yang tidak memberi sesuatu yang lebih bermanfaat.
IAKN Tarutung juga perlu menyadari bahwa IAKN Ambon sudah lebih memenuhi syarat menjadi UKN dalam hal akreditasi Program Studi. IAKN Ambon sudah memiliki 7 Prodi dengan akreditasi B dan 1 Prodi A, jauh lebih baik dibandingkan dengan IAKN Tarutung yang belum memiliki Prodi dengan akreditasi A dan baru memiliki 1 Prodi dengan akreditasi B (sumber PDDIKTI, 18 Mei 2023). Berdasarkan data objektif ini, lebih dimungkinkan IAKN Ambon menjadi UKN yang pertama di Indonesia. Untuk menjadi UKN yang pertama, IAKN Tarutung perlu melakukan langkah-langkah terobosan dalam berbagai aspek.(**)