Medan(Pelita Batak): Gabungan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (GAPBSI) akan turun ke jalan dengan 5.000-an massa selama dua hari yakni Senin 17 Oktober 2016 - 18 Oktober 2016 ke sejumlah titik pusat pemerintahan. Aksi tersebut dilakukan seiring lambatnya penanganan permasalahan ketenagakerjaan terhadap 3000-an buruh yang belum terselesaikan pemerintah dan instansi terkait di medan .
Pimpinan aksi yang juga Ketua DPC F SP LEM SPSI Medan Gimin, saat konferensi pers di kafe Coffee Potret di Medan, Jumat 14 Oktober 2016 mengatakan banyak persoalan ketenagakerjaan yang belum mendapatkan solusi yang memihak kaum buruh. "Untuk itu kami akan melakukan aksi dimulai Senin 17 Oktober 2016 di beberapa titik, yakni Kantor DPRD Sumut, Kantor Gubsu, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan, Mapoldasu dan Mapolrestabes Medan. Sebanyak 5000-an akan turun dan berasal dari beberapa daerah, yakni Kawasan Industri Medan (KIM), Belawan, Amplas, Patumbak, Sampali, Namorambe, Delitua, dan Sibiru-biru," ujarnya.
GAPBSI merupakan gabungan dari 16 serikat pekerja, yakni Jahotman Sitanggang (DPC F SP KEP SPSI Medan), Gimin (DPC F SP LEM SPSI Medan), Ahmad Rivai (DPC F SP RTMM SPSI Medan), Antoni Pasaribu (DPC F SPTI SPSI Medan), Alimuddin Siregar (DPC F SP KAHUT SPSI Medan), Elvianti Tanjung (DPC F SP NIBA SPSI Medan), M. Ishak (DPC F SP PAR SPSI Medan), Indra Syafi'i (DPC PPMI Medan), Usaha Tarigan (Korda F SB Kikes KSBSI Sumut), Paraduan Pakpahan (DPC F GARTEKS KSBSI Medan), Ponijo (DPC F LOMENIK KSBSI Medan), Adijon Sitanggang (DPC SBSI 1992 Medan), Rintang Berutu (BPP SBMI Merdeka), Parulian Sinaga (Kesatuan Buruh Independent), Amrul Sinaga (Solidaritas Buruh Sumatera Utara), dan Poltak Tampubolon (DPC F BUPELA SBSI Medan).
Selain permasalahan ribuan buruh yang kunjung tidak selesai, dalam aksi nanti, mereka juga menyasar beberapa poin penting. "Di antaranya meminta pemerintah pusat menghapus sistem perbudakan 'modern' berkedok sistem kontrak, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang pengupahan. Untuk pemerintah derah terkait UMK 2017, penolakan penghitungan upah yang tidak sesuai, serta desakan adanya peraturan daerah tentang ketenagakerjaan," katanya.
Selain itu, instansi hukum dan aparatur negara juga didesak untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa buruh dengan benar. "Selama ini, kita melihat ada beberapa kejanggalan hukum. Kasus ketenagakerjaan juga seperti 'dianaktirikan'. Beberapa hakim juga diduga telah melakukan pelanggaran hal ini sudah kami laporkan ke Komisi Yudisial (KY). Selain itu ada 13 perusahaan/usaha di Medan sampai saat ini juga menuntaskaskan pelanggaran normatif buruhnya . Total buruh, bisa lebih dari 3000-an masih mengalami kasus-kasus ketenagakerjaan di sana," jelasnya.
Wakil Pimpinan Aksi, Kordinator Daerah FSB KIKES KSBSI Sumatera Utara Usaha Tarigan menyebutkan, pada dasarnya, banyaknya permasalahan yang menimpa buruh merupakan kompleksitas dari penyimpangan pelaksanaan sistem kontrak di lapangan dan terbitnya PP 78 Tahun2015. "Sebenarnya dasar dari banyaknya permasalahan tersebut bisa disimpulkan dari adanya dua persoalan yang krusial, yakni sistem kerja modern yang kontrak dan sejenisnya. Juga adanya PP 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Ini pemicu banyaknya permasalahan kaum buruh selama ini," ujarnya.
Disebutkannya, jika pengusaha melakukan sistem yang sesuai, sebenarnya tidak akan ada masalah. "Namun, yang terjadi, sistem kontrak itu tidak sesuai di lapangan. Menurut undang undang No 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan , hanya ada lima pekerjaan yang boleh sistem 'kontrak', yakni security, katering, pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan khusus karyawan, dan cleaning service. Jenis pekerjaan di luar itu seharusnya tidak diperbolehkan sistem kontrak kerja waktu tertentu atau dengan bahasa kerennya 'outsourcing’. Tapi nyata-nyata di lapangan, hampir 70 persen buruh di Medan bekerja di sistem outsourcing di luar lima jenis pekerjaan itu," paparnya.
Menurutnya, bukan hanya kaitan buruh dengan pengusaha saja, namun, beberapa kasus ketenagakerjaan disinyalir 'stagnan' dan tidak jelas proses penyelesaiannya di instansi aparat hukum. "Kita sudah kirim surat ke KY dan lembaga terkait untuk melihat permasalahan hukum terkait ketenagakerjaan di sini. Bukan hanya itu, kita juga terus mendesak lewat aksi yang direncanakan akan dilakukan setiap bulan di pengadilan negeri (dalam hal ini pengadilan hubungan industrial),” ungkapnya.
Karena itu, pihaknya melakukan aksi turun ke jalanan agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan instansi terkait serta petugas aparat tidak sewenang-wenang terhadap buruh. "Tidak hanya aksi demo, kita juga punya konsep agar pemerintah daerah setidaknya memiliki perda sendiri. Peraturan pusat, mungkin sulit dihapus, namun bisa tetap dilakukan peraturan di tingkat daerah, ini yang ingin kita harapkan dari pemerintah setempat,"tukas Usaha Tarigan.(Paraduan Pakpahan)