PARBARINGIN: PENDETA BATAK ZAMAN DAHULU

Jan Eduart Sipayung - Sidikalang Dairi
Administrator Administrator
PARBARINGIN: PENDETA BATAK ZAMAN DAHULU
Ist|PelitaBatak

ORANG Batak zaman dahulu mengenal upacara yang disebut “ Pesta Bius”. Pesta Bius ini diselenggarakan sekali setahun oleh kumpulan dari beberapa “Horja”. Horja terbentuk dari kumpulan beberapa “Huta” atau sering kita sebut Kampung. Makanya Orang Batak Toba zaman dahulu mengenal perumpamaan “Huta do mulani Horja, Horja do mulani Bius” yang artinya “ Kampung membentuk Horja , Horja Membentuk Bius”. Dengan demikian Bius adalah tingkatan tertinggi dalam konsep lembaga pemerintahan Orang batak masa itu. pesta bius ini biasanya diselenggarakan untuk pesta kurban agar hasil pertanian hasilnya melimpah,memohon turunnya hujan, menghentkan wabah penyakit dan menyelesaikan masalah yang tidak bisa dihentin di tingkat huta dan horja.

Dalam penyeleggaraan pesta bius ini , yang berperan sebagai pemimpinnya adalah para “Parbaringin”. Seorang Parbaringin atau pendeta dipilih oleh dewan yang mewakili marga-marga dalam komunitas adat Batak-Toba. Posisi ini bersifat turun-temurun jadi seorang anggota keluarga Parbaringin wajib meneruskan jabatan itu jika dipilih oleh masyarakat. Kelompok Parbaringin memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Batak-Toba. Mereka tidak hanya terlibat dalam urusan keagamaan, tetapi juga dalam kegiatan adat istiadat dan pemerintahan. Hampir setiap daerah di Batak-Toba memiliki Parbaringin, kecuali beberapa wilayah kecil dan terpencil.

Tugas utama Parbaringin adalah memimpin upacara persembahan kurban kepada leluhur atau roh leluhur. Mereka dianggap sebagai rohaniwan yang mengemban tanggung jawab penting dalam menjaga keharmonisan masyarakat dengan dunia spiritual. Setelah diangkat sebagai Parbaringin, seseorang tidak lagi terikat dengan marga atau bius yang memilihnya. Mereka memiliki organisasi sendiri yang terpisah dari struktur bius sehari-hari. Parbaringin tidak terlibat dalam urusan harian yang ditangani oleh kepala bius, tetapi mereka bertanggung jawab atas upacara-upacara seperti bercocok tanam, pengelolaan irigasi (bondar), pengembangan lahan pertanian baru, dan memimpin ritual-ritual yang berkaitan dengan pertanian.

Mereka menjaga tradisi Sianjur Mula-mula dengan memberikan penghormatan kepada Mulajadi dan dewa-dewa lainnya, dengan pusat keagamaan mereka di gunung keramat Pusuk Buhit. Pemimpin Parbaringin dikenal sebagai Pande Bolon, yang merupakan ahli utama dalam hal spiritual. Pande Bolon bertanggung jawab mengatur tugas-tugas para pendeta terkait dengan pelaksanaan ritual pertanian, mulai dari awal penanaman hingga panen, pengelolaan sistem irigasi sawah, partisipasi dalam pembagian tanah oleh dewan bius, penyelesaian konflik antar bius, dan memberikan nasihat kepada dewan bius.

Raja Patik Tampubolon dalam bukunya Pustaha tumbaga Holing menjelaskan beberapa tugas dari para Parbaringin sebagai berikut :

1. Nasida ma malim parhalado di ulaon partondion (merekalah imam pelayan dalam upacara pesta rohani).

2. Nasida ma pangajari ??" panuturi di ulaon pardagingon (merekalah penasehat dalam upacara pesta duniawi).

3. Nasida ma sijujur ari parborhaton laho marporang, mangalehon partahanon, parsimboraon, parhobolon, pangombilon (merekalah penentu hari keberangkatan untuk berperang, memberikan pertahanan, jimat untuk perlindungan dari roh jahat dan dibawa sebagai kalung pada leher, kekebalan, pelindung)

Fungsi dan tugas pokok Parbaringin sangat terkait dengan praktik agama tradisional Batak Toba dan mereka menjadi salah satu lembaga yang mendukung Dinasti Singamangaraja. Sekitar tahun 1890, muncul berbagai sekte agama tradisional baru di masyarakat Batak Toba utara, yang mencakup unsur-unsur sinkretisme seperti Parmalim, Parsiakbagi atau Parugamo, Parsitekka, dan Sidamdam. Meskipun demikian, Dinasti Singamangaraja, dipimpin oleh Ompu Pulo Batu lebih mempercayai Parbaringin, yaitu para pendeta yang bertanggung jawab atas upacara korbandaripada pemimpin sekte-sekte baru tersebut. Namun kaum Parbaringin cenderung menjauhkan diri dari pengaruh Parmalim. Parbaringin memiliki kendali penuh atas upacara-upacara rohani, termasuk upacara kurban dalam perayaan Horja atau Bius. Hingga pada akhirnya hilang setelah Belanda melarang aktivitas pesta bius di daerah Tanah Batak.

Komentar
Berita Terkini