ORANG Batak zaman dahulu mengenal upacara yang disebut “ Pesta Bius”. Pesta Bius ini diselenggarakan
sekali setahun oleh kumpulan dari beberapa “Horja”. Horja terbentuk dari
kumpulan beberapa “Huta” atau sering kita sebut Kampung. Makanya Orang Batak Toba
zaman dahulu mengenal perumpamaan “Huta do mulani Horja, Horja do mulani Bius”
yang artinya “ Kampung membentuk Horja , Horja Membentuk Bius”. Dengan
demikian Bius adalah tingkatan tertinggi dalam konsep lembaga pemerintahan
Orang batak masa itu. pesta bius ini biasanya diselenggarakan untuk pesta
kurban agar hasil pertanian hasilnya melimpah,memohon turunnya hujan,
menghentkan wabah penyakit dan menyelesaikan masalah yang tidak bisa dihentin
di tingkat huta dan horja.
Dalam penyeleggaraan pesta bius ini ,
yang berperan sebagai pemimpinnya adalah para “Parbaringin”. Seorang
Parbaringin atau pendeta dipilih oleh dewan yang mewakili marga-marga dalam
komunitas adat Batak-Toba. Posisi ini bersifat turun-temurun jadi seorang anggota keluarga Parbaringin wajib meneruskan
jabatan itu jika dipilih oleh masyarakat. Kelompok Parbaringin memiliki peran
penting dalam kehidupan masyarakat Batak-Toba. Mereka tidak hanya terlibat
dalam urusan keagamaan, tetapi juga dalam kegiatan adat istiadat dan
pemerintahan. Hampir setiap daerah di Batak-Toba memiliki Parbaringin, kecuali
beberapa wilayah kecil dan terpencil.
Tugas utama Parbaringin adalah memimpin
upacara persembahan kurban kepada leluhur atau roh leluhur. Mereka dianggap
sebagai rohaniwan yang mengemban tanggung jawab penting dalam menjaga
keharmonisan masyarakat dengan dunia spiritual. Setelah diangkat sebagai Parbaringin,
seseorang tidak lagi terikat dengan marga atau bius yang memilihnya. Mereka
memiliki organisasi sendiri yang terpisah dari struktur bius sehari-hari.
Parbaringin tidak terlibat dalam urusan harian yang ditangani oleh kepala bius,
tetapi mereka bertanggung jawab atas upacara-upacara seperti bercocok tanam,
pengelolaan irigasi (bondar), pengembangan lahan pertanian baru, dan memimpin
ritual-ritual yang berkaitan dengan pertanian.
Mereka menjaga tradisi Sianjur
Mula-mula dengan memberikan penghormatan kepada Mulajadi dan dewa-dewa lainnya,
dengan pusat keagamaan mereka di gunung keramat Pusuk Buhit. Pemimpin
Parbaringin dikenal sebagai Pande Bolon, yang merupakan ahli utama dalam hal
spiritual. Pande Bolon bertanggung jawab mengatur tugas-tugas para pendeta
terkait dengan pelaksanaan ritual pertanian, mulai dari awal penanaman hingga
panen, pengelolaan sistem irigasi sawah, partisipasi dalam pembagian tanah oleh
dewan bius, penyelesaian konflik antar bius, dan memberikan nasihat kepada
dewan bius.
Raja Patik Tampubolon dalam bukunya
Pustaha tumbaga Holing menjelaskan beberapa tugas dari para Parbaringin sebagai berikut :
1.
Nasida
ma malim parhalado di ulaon partondion (merekalah imam pelayan dalam upacara
pesta rohani).
2.
Nasida
ma pangajari ??" panuturi di ulaon pardagingon (merekalah penasehat dalam upacara
pesta duniawi).
3.
Nasida ma sijujur ari
parborhaton laho marporang, mangalehon partahanon, parsimboraon, parhobolon,
pangombilon (merekalah penentu hari keberangkatan
untuk berperang, memberikan pertahanan, jimat untuk perlindungan dari roh jahat
dan dibawa sebagai kalung pada leher, kekebalan, pelindung)
Fungsi dan tugas pokok Parbaringin
sangat terkait dengan praktik agama tradisional Batak Toba dan mereka menjadi
salah satu lembaga yang mendukung Dinasti Singamangaraja. Sekitar tahun 1890,
muncul berbagai sekte agama tradisional baru di masyarakat Batak Toba utara,
yang mencakup unsur-unsur sinkretisme seperti Parmalim, Parsiakbagi atau
Parugamo, Parsitekka, dan Sidamdam. Meskipun demikian, Dinasti Singamangaraja,
dipimpin oleh Ompu Pulo Batu lebih mempercayai Parbaringin, yaitu para pendeta
yang bertanggung jawab atas upacara korbandaripada pemimpin sekte-sekte baru
tersebut. Namun kaum Parbaringin cenderung menjauhkan diri dari pengaruh
Parmalim. Parbaringin memiliki kendali penuh atas upacara-upacara rohani,
termasuk upacara kurban dalam perayaan Horja atau Bius. Hingga pada akhirnya
hilang setelah Belanda melarang aktivitas pesta bius di daerah Tanah Batak.