AGAK terharu sedih tapi gembira menyadari bahwa kini tanggal 6 dan 7 Oktober 2021 yang berarti persis 160 tahun dari rapat para misionaris Belanda dan Jerman di rumah misionaris Belanda Gerrit van Asselt di Parau Sorat. Bagi para sahabatku yang pernah memiliki atau membaca saja buku saya berjudul Benih yang Disemai dan Buah yang Menyebar (504 halaman), jilid satu dari rangkaian seri sejarah penginjilan di Tanah Batak (3 jilid, total seluruh halaman 1084) yang terbit pada tahun 2004 dan kini pasti 3500 eksemplar yang dulu terbit masih tetap disimpan dan dibaca para peminatnya dan puluhan perpustakaan.
Sekadar mengenang rapat para misionaris tersebut, air mata saya sebagai penulis buku itu sedikit membasahi mata mengingat pernyataan tulang ibuku, Tuan Guru Samuel Siregar yang diceritakan dalam buku tersebut adalah pemuda remaja yang sudah bekerja sebagai anak asuh di rumah Tuan van Asselt seperti diceritakan dalam buku itu yang baru saja ditebus dari perhambaan yang semu justru dari rumah seorang raja kampung bermarga sama, Tuan muda Siregar. Adalah ompungku Tuan Guru Samuel Siregar ini yang kuceritakan sangat panjang dalam buku jilid ke-4 ketiga buku yang kutulis pada tahun 2004 tersebut, berjudul Hikayat Bakti
Pelayanan Zending Tuan Guru Samuel Siregar, orang Batak pertama yang mengikuti pendidikan seminari di Gereja Zending Ermelo Negeri Belanda (1869-1871) dan seminari Barmen, Jerman (1871-1873).

Kembali pada cerita rapat pembentukan HKBP seperti sering kita baca sepotong-sepotong ditulis penulis-penulis batak yang bukan saksi mata. Tapi kalau rekan-rekan memperhatikan berita/komentar pribadi Tuan Guru Samuel waktu berumur sekitar 13 tahunan dalam suasana ikut di lingkungan rapat tersebut, jelas terlihat bahwa rumah milik misionaris tempat mereka rapat bukan aset misionaris atau misi zending Barmen, tapi misi misionaris Belanda, van Asselt yang diutus oleh Gereja Belanda tadi. Namun, rapat terlihat dipimpin oleh misionaris Jerman yang baru tiba di Sipirok bernama Heine dan Klammer. Sedang Bets dan van Asselt adalah misionaris Belanda. Mereka hanya ditawarkan kalau bersedia ikut lembaga zending yang akan mereka bentuk dan dibiayai oleh zending Barmen. Hanya 2 orang misionaris Belanda itu yang bersedia mengikuti gereja zending yang baru dibentuk, yang kelak berkembang menjadi HKBP.
Tentu saja yang membuat saya terharu adalah bahwa ompungku itu baru 2 bulan saja sebelumnya ditebus oleh misionaris van Asselt dari perhambaan semu raja kampung semarga (baca cerita itu di bagian-bagian permulaan buku seri sejarah penginjilan). Dari cerita si Elung Siregar yang kelak menjadi bernama Tuan Guru Samuel Siregar ketika pulang tamat pada tahun 1873 dari barmen dan menjadi guru zending Batak yang paling pertama, bahkan pelayan yang setara dengan Nommensen yang hanya 11 tahun lebih dulu daripadanya lulus dari
seminari Barmen. Dari komentar pandangan mata Samuel Siregar sebagai anak asuh Kristen paling pertama (yang berstatus ditebus), kita bisa tahu elemen-elemen lain dari peristiwa itu misalnya:
Misionaris Belanda (dari Gereja Ermelo) sudah lebih dulu ada 5 orang dan kemudian bertambah-tambah lagi. Tetapi adalah Gereja Seminari Barmen yang meminta kepada pimpinan zending Belanda agar mereka-lah yang menjadi penginjil (pelaksana misi di tanah Batak). Dari cerita dia pula misalnya terbaca bahwa sebenarnya ada 3 orang misionaris Belanda yang sebelum tanggal 7 Oktober 1861 bersedia ikut menjadi misionaris dalam organisasi zending yang akan dibentuk. Misionaris Belanda itu bernama Dammerbur, tapi akhirnya hanya 4 orang yakni 2 orang Belanda, dan 2 orang Jerman yang bersedia ikut misi yang dibiayai oleh zending Barmen. Nama depan dari keempat orang misionaris itu secara kebetulan adalah H untuk Heine miss. Jerman; K untuk Klammer miss. Jerman; B untuk Bets miss. Belanda; dan terakhir Van Asselt misionaris Belanda.
Catatan:
Ada gaya-gaya yang aneh dari orang batak ini yang selalu mengelu-elukan singkatan nama-nama depan keempat misionaris Jerman dan Belanda yang membentuk misi zending yang kemudian menjadi HKBP itu. Kata mereka, kebetulan sama dengan HKBP dengan alasan H adalah misionaris Heine, K misionaris Klammer, B misionaris Bets dan P kata mereka Pan Asselt. Pernyataan itu sebenarnya adalah omong kosong. Itu hanya lahir dari gaya-gaya Batak karena huruf depan nama misionaris Belanda itu bukan P, tapi V. Jadi kesamaan huruf depan nama organisasi HKBP dengan nama depan para misionarisnya sama sekali tidak benar karena huruf P adalah huruf V.
Cukup terharu rindu bahwa ompungku Tuan Guru Samuel Siregar yang ikut sebagai pemuda remaja asuh di rumah Tuan van Asselt ketika pembentukan organisasi zending Barmen yang kemudian menjelma menjadi HKBP. Sangat mengagetkan para pembaca buku “Guru Samuel†itu karena ternyata misalnya ketika dia berlayar ke Eropa di tahun 1869, terusan Suez belum ada jadi pelayaran mereka mengelilingi Afrika. Ketika dia belajar di Barmen, Jerman 1871-1873, yang berkuasa dan sedang membentuk Jerman Raya masih Otto von Bismarck yang kita pelajari dalam sejarah seolah-olah di zaman antah beranta. Tapi memang demikianlah tak terasa waktunya ompungku itu yang masih sangat bersikap mesra kepada berenya (Ibu saya) ketika sudah menjadi orang kedua sesudah Nommensen kawannya melayani di Pea Raja mulai tahun 1874. Cukup membingungkan para pelayan tingkat murid-murid mereka sejak tahun 1870an banyak itu yang merupakan ompung bahkan amang mangulahi dari generasi kalian yang membaca berita kenangan ini. Misalnya puluhan misionaris yang umumnya disebut
sebagai Tuan Pandita, masih adik kelas beberapa angkatan ke bawah dari ompungku Tuan Guru Samuel Siregar. Buku jilid 4 Tuan Siregar ini kini hanya tinggal mungkin beberapa biji di toko buku BPK Kristen. Kalau tak salah, harganya kurang lebih 140 ribu karena bukunya sangat tebal yaitu 406 halaman.
Sekian kenangan ini kawan-kawan mengenai sejarah hari pertama terbentuknya HKBP dan ompung kandungku laki-laki dan perempuan (ompung bao dan ito ompung bao) turut terlibat dalam peristiwa lahirnya HKBP tersebut sekalipun hanya berfungsi sebagai anak-anak asuh, pelajar di rumah misi zending Barmen di Parau Sorat dan Bunga Bondar, Angkola. (*)