Puisi : Kala Cinta Berlalu Saat Bencana Tiba

Administrator Administrator
Puisi : Kala Cinta Berlalu Saat Bencana Tiba
IST|Pelita Batak
Ronald Gufock Sitanggang

AWAL pagi yang cerah selalu kusiapkan diri merajut hari untuk melangkah temui rasa dengan berkarya bersama sahabat kawan sejawat. Langkah pertama selalu ceria walau kadang jalanan macet menghadang langkah tuk melangkah menuju asa tempat berkarya akan tercurah. Absen pagi kuterbayang akan rupiah yang terkumpul akhir bulan penuh berkat dikala slip gaji datang dengan segala rinciannya.


Namun sekarang bayangan itu telah sirnalah sudah. Tiada lagi canda tawa kala jam istirahat makan siang tiba, tiada lagi perintah tugas saat tutup buku kan tiba diakhir bulan dengan segala target yang sudah terencana. Kini haripun kadang tak ingatlah sudah, tiada lagi hari libur yang kan terbayang kala pekerjaan penat melanda. Semua berlalu seperti melewati hari yang sama, hari dimana setiap hari dirumah saja. Kadang terbayang senangnya hati melihat saldo rekening yang bertambah. Kadang terbayang saat diri melangkah riang nuju ATM tuk sekedar melihat saldo. Sering terbayang betapa senangnya si Nyonya rumah terima rupiah gaji sang Suami kala akhir bulan tiba. Dengan sumringah si Nyonya rumah akan keliatan lebih cantik dari biasanya ketika rupiah telah tiba dalam genggamannya. Hitungan sebulan sudah biasa tertata rapi dengan segala pengeluaran hingga akhir bulan kan berakhir nantinya. 


Kebehagiaan itu telah berlalulah sudah. Berkat bulanan itu tiada lagi kini bersama. Saldo rekeningpun tidak lagi bertambah, hampir berakhir dengan saldo minimum penambah pedih nan sedih nian. 


Kebahagiaan itu terenggutlah sudah, dikala si Corona tiba membuncah gulana.


Ketika semua bangsa bergelut dengan musibah, yang datang tak pernah diundang, yang tiada tau kapan dia kan pergi berlalu tuk tinggalkan derita sengsara.


Dengan setia dia hadir menghadang warga, menebar teror dimanan-mana, hingga seluruh negeri perih menghadapi ajal yang tak kenal usia, tidak kenal status sosial, tidaka peduli dengan suku bangsa, tidak perduli dengan pangkat jabatan. Semua meniarap bak siap-siap menjemput maut. 


Entah dimana, entah darimana, entah siapa yang jadi sasaran, entah siapa yang jadi korban, tiada yang tau pasti siapa kawan siapa lawan. Bahkan semua dirasa menjadi musuh, semua orang dikira jadi penyebar maut. Tiada lagi persahabatan atas nama saudara, tiada lagi persahabatan atas nama teman sejawat, bahkan tiada lagi persahabatan atas nama saudara sedarah. Semua takut seolah-oleh mereka adalah musuh pembawa derita, seolah-olah mereka akan datang bawa sengsara bila bersama. 


Aturan penguasa bertalu-talu mambatasi warga, aturan warga pun turut membatasi diri untuk membuka diri. Silaturahmi kini hilanglah sudah, kekerabatan tidak terasa lagi kini. Semua warga mengurung diri, semua warga saling curiga. Persahabatan punahlah sudah, kekerabatan sirnalah sudah. 


Dikala cinta berlalu saat bencana kini tlah tiba, dikala kasih tiada lagi saling peduli, semua orang hanyalah berusaha menyelamatkan diri, mengurung diri dalam sepi sunyi sendiri. Selamatkan diri dari pemusnah kebahagiaan, selamatkan diri dari pemusnah persahabatan, selamatkan diri dari sipenjemput ajal.


Sampai kapankah kita berhenti berbagi rasa? Sampai kapankah kita berhenti bersama hadir berbela rasa? Haruskah kita menyerah atas nama maut yang tiada wujud nyata? Haruskah kita kalah dengan bencana yang bukanlah dia penguasa sesungguhnya? Harus hilanglah kasih yang diberikan oleh yang Maha Kuasa?


Tiada pesta yang tak berakhir

Tiada bencana yang takkan berlalu

Mari bedoa bertalu-talu

Semoga bencana cepatlah kau berlalu


Jatiasih 05052020

(**)

Komentar
Berita Terkini